Salah seorang filsuf kelahiran Athena, Socrates, pernah menuturkan bahwa hidup yang tidak dimaknai tidak layak dihidupi. Sebuah pernyataan singkat dan sederhana, namun mengandung makna sangat mendalam. Pernyataan Socrates tersebut bisa menjadi sebuah pintu menuju ruang tadabur bagi setiap manusia dalam memandang segala kejadian, baik yang menimpa diri, di luar diri, maupun kejadian kecil atau besar yang pernah atau sedang terjadi.
Perkara kecil dan besar pun perlu dimaknai. Terkadang diri terjebak dalam memahami atau berasumsi atas besar dan kecil. Hal yang dianggap kecil terkadang selang beberapa waktu baru diketahui dan disadari bahwa itu adalah sesuatu yang besar, begitu pula sebaliknya.
Terkadang diri lalai memahami dan mencari tahu besar dan kecil yang diri maksud tersebut dalam sisi apa. Apakah besar dan kecil itu dalam sisi esensi, kegunaan, manfaat, materiil, atau sisi-sisi yang lainnya.
Diri sebagai manusia patut menyadari dan mengakui bahwa manusia memiliki limitasi dalam memandang, baik secara akal maupun intuisi. Keterbatasan pandang manusia seringkali disebabkan oleh rasa keakuan atas kemampuan akalnya yang menjadikan manusia mudah terjebak dalam memahami sesuatu. Terlebih jika hal tersebut berangkat dari sudut pandang atas rasa kuasa di dalam diri dan rasa keakuan yang tanpa kontrol.
Alhasil, tak ada suatu hal besar yang ditemukan di luar diri. Hal besar yang ditemukan hanyalah dirinya sendiri menurut dirinya sendiri. Satu hal besar dan sangat penting yang sering dilalaikan adalah ketika diri kehilangan rasa keakuan dan mampu menguasai diri agar terhindar dari tendensi-tendensi yang menyebabkan ketidakselarasan atas kehidupan yang berdampak pada ketidakharmonisan dalam berbagai hubungan.
Dalam memahami segala sesuatu manusia harus berusaha netral dan adil sejak di dalam pikiran -meminjam kata Pram-. Alangkah lebih indahnya jika dalam memandang sesuatu manusia bisa berangkat dari adil dan bijaksana sedari sebelum merasa dan berpikir. Sungguh, itu adalah pencapaian luar biasa bagi kaum intelektual yang sedang melakukan penelitian atau menajamkan daya kritisnya.
Ketika memahami sesuatu memang alangkah baiknya diri sejenak menaruh idealisme dan ideologi yang dihidupi guna mencipta sebuah kemurnian dan keselarasan yang benar-benar selaras dalam memandang. Kenetralan sangat dibutuhkan agar ketika mencari atau menggali sesuatu tidak langsung dibatasi dengan apa yang diri ketahui. Hal tersebut bukan berarti diri mengabaikan ilmu yang dimiliki, tetapi bagaimana caranya diri mengolah pengetahuan yang dimiliki sebagai pintu masuk untuk mencari, menggali, dan bereksplorasi terus-menerus tanpa melibatkan kepentingan apapun selain keutuhan dari sesuatu yang dicari itu sendiri.
Sadar tidak sadar dan mau mengakui atau tidak, terkadang dalam memahami segala sesuatu diri sangat dipengaruhi oleh berbagai pakaian yang dipakai. Terlebih jika pakaian itu sudah menancap jauh di dalam diri. Alam bawah sadar secara otomatis akan menjalankan software yang sudah diinstal di dalam diri.
Sederhananya, diri harus melepaskan segala pakaian yang dimiliki atau dipakai agar menemukan sesuatu yang luas, dalam, dan esensinya lebih hidup. Perkara pengemasan atas apa yang dicari, digali, dan dipahami tersebut tinggal disesuaikan dengan konteks dan situasi. Hal yang harus diingat adalah terus berusaha mencari dan menyuarakan kemurnian.
Di era banjir informasi seperti sekarang ini, hal yang mampu menyelamatkan diri kita, orang lain, masyarakat, lingkungan, dan segala makhluk lain yang ada di semesta ini adalah membunuh keakuan. Keharmonisan dan keselarasan dapat terbangun sejak di dalam diri apabila rasa keakuan di dalam dirinya sudah dimusnahkan. Namun, kedua hal tersebut akan sulit digapai jika diri enggan belajar memaknai setiap apa yang direkam panca indra, dipikirkan, dikatakan, dilakukan, dan segala aktivitas pikiran, batin, serta perilaku. Sedangkan makna itu sendiri tidak akan murni apabila diri masih menghidupi rasa keakuan.