Musuh terberat
dalam hidup adalah diri sendiri. Ungkapan seperti itu memang layak diamini
dengan penuh hikmat. Dalam menjalani kehidupan ini, baik disadari atau tidak, yang
lebih banyak menyakiti diri kita bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri.
Musuh yang paling
kuat dalam diri kita adalah napsu, hasrat, ego, dan ambisi. Orang yang mampu
menakhlukkan dan mengalahkan hal tersebut adalah orang yang perkasa, ampuh, dan
ksatria.
Memahami orang lain berarti pandai. Memahami dirimu sendiri berarti bijaksana. Menguasai orang lain berarti kuat. Menguasai diri sendiri berarti perkasa.
-Lao Tzu-
Dalam menjalani
kehidupan ini pasti diri pernah mengalami perasaan was-was, gugup, panik, ketakutan-ketakutan,
dan berbagai perasaan lainnya yang menjadikan diri tidak tenang dan merasa
susah. Perasaan seperti itu pada dasarnya bukan karena orang lain namun karena
dirinya sendiri. Perasaan yang muncul karena diri belum atau kurang memahami
apa yang bisa diri kendalikan dan tidak bisa diri kendalikan.
Diri harus
mengingat bahwa diri adalah seorang pemimpin bagi dirinya sendiri -khalifah-. Diri harus bisa memahami, mengontrol, membuat sistem, dan strategi untuk menjalankan sistem terbaik bagi dirinya sendiri. Lebih
bijaknya dalam hal itu diri juga harus ingat bahwa diri adalah manusia. Maka
harus mencoba memahami hakekat manusia agar tidak melulu menyakiti diri sendiri
terlebih kemanusiaan, baik secara sadar atau tidak sadar.
Meski diri kita
adalah pemimpin yang mungkin sebatas untuk diri sendiri, bagi yang masih jomlo, apatis, dan asosial. Atau
mungkin diri sebagai pemimpin organisasi, komunitas, lembaga, instansi, dan
lain sebagainya. Hal mendasar yang harus dipahami pemimpin adalah pemimpin
harus mampu memahami orang lain, namun lebih penting lagi harus mampu memahami
dirinya sendiri terlebih dahulu. Harus pandai dan bijaksana. Pemimpin harus
menguasai apa yang dia pimpin, namun harus menguasai dirinya sendiri. Pemimpin
harus kuat dan bijaksana.
Seseorang yang
belum bisa menguasai dirinya sendiri akan sulit menguasai orang lain. Orang
yang belum memahami dirinya sendiri akan sulit memahami orang lain. Pijakan
dasarnya dalam semua aktivitas diri kita baik secara fisik, mental, pikiran
adalah diri sendiri.
Seorang pemimpin harus
beres dengan pikirannya. Adanya
stigma dari orang lain berangkat dan berawal dari pola pikir. Kebenaran
berpikir akan menuntun seseorang untuk berpikir positif, keruntutan dalam
berpikir akan menuntun seseorang untuk berpikir seistematis.
Berpikir positif artinya diri akan
memenuhi ruang di dalam pikiran dengan muatan-muatan positif, dampaknya akan
keluar menjadi kata-kata positif, kata-kata positif akan menjadi pemicu dan
pemacu semangat untuk meraih apa yang diinginkan dan diharapkan.
Sebaliknya, kesalahan dalam berpikir
akan mengarahkan seseorang untuk berpikir mamandang sesuatu dari sisi negatif. Hal
itu akan membawa pemikiran atau sebuah pandangan yang seakan tidak ada nilai
kebaikan atas sesuatu itu sendiri karena sudah diawali dengan presepsi negatif.
Selain itu, ketika kepala dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif maka yang
keluar adalah ucapan dan tindakan yang destruktif pula.
Dalam buku Unleash Your Inner Power with Zen: 50 Kisah Zen untuk Memaksimalkan
Potensi Diri tertuang kalimat inspiratif yang akan membawa kita ke dalam
sebuah gelombang kesadaran.
Perhatikan pikiranmu, karena akan menjadi kata-kata.Perhatikan kata-katamu, karena akan menjadi tindakan.Perhatikan tindakanmu, karena akan menjadi kebiasaan.Perhatikan kebiasaanmu, karena akan menjadi karakter.Perhatikan karaktermu, karena akan menjadi takdirmu.
Manusia harus beres dengan pikirannya. Pikirannya harus tertib. Manusia harus berpikir benar karena berpikir benar adalah sumber kualitas hidup. Kalau pikiran rusak, tidak jernih, tendensius, tidak objektif maka akan mengarahkan kepada ketidakjernihan, kekacauan, keruwetan, kesulitan hidup. Jernihkan pikiranmu karena dari situ akan keluar kata-kata, dan kata-kata akan melahirkan tindakan.
Terlebih
kita adalah seorang pemimpin. Kata-kata yang dikeluarkan adalah apa yang akan
dijalankan, dipedomani, dijadikan patokan untuk bertindak oleh yang diri kita
pimpin.Tindakan atas petunjuk seorang pemimpin akan menjadi kebiasaan, akan
menjadi norma. Kebiasaan yang jelek akan melahirkan karakter yang jelek.
Karakter
adalah garis hidup. Jika engkau orang yang jujur dan penyayang maka engkau akan
disayangi, dicintai, disukai, dan mungkin akan dipilih menjadi pemimpin. Jika
engkau pembohong, maka tidak akan dipercaya oleh masyarakatmu, hidup akan
menemui kesulitan-kesulitan karena karakter pembohong tersebut.
Jika dalam menjalani kehidupan di semesta ini kita selalu merasa tidak enak, serba sulit, maka cobalah dicek karakter apa yang diri kita hidupi, disemai, ditumbuhkan. Dicari dari mana karakter itu lahir, dari tindakan yang mana saja. Kita harus mengecek kata-kata yang mana yang melahirkan tindakan, apakah dari kitab suci, kata-kata tokoh, kata-kata teman, kata-kata orangtua, atau dari mana.
Ketika diri kita mau mencari sampai hal yang mendalam pun mendasar maka kita akan menemukan garis hidup dan jati diri.
Plato,
sesepuh filsuf itu bertutur, “Kesengsaraan
dunia tidak akan pernah berakhir sebelum filsuf menjadi raja atau raja-raja
menjadi filsuf.”
Jalan menjadi filsuf adalah berpikir mendalam dan mendasar. Agar tidak hidup sengsara dan menemukan beribu jalan kebahagiaan, maka kita harus menjadi filsuf atau berkipir secara mendalam, mendasar, dan filosofis.
*Redaksi