Setiap 10 November bangsa Indonesia memperingati hari
pahlawan nasional. Hari pahlawan merupakan hari penghormatan para pejuang
kemerdekaan sekaligus perenungan atas perjalanan bangsa Indonesia dari
cengkeraman penindasan, kesewenang-wenangan, dan penjajahan bengis dari bangsa
asing. Namun, tahukah Anda siapa tokoh yang mendapatkan gelar pahlawan pertama
di Indonesia? Jawabannya adalah Abdul Muis.
Abdul Muis merupakan sosok aktivis politik, wartawan, dan
sastrawan Indonesia yang pernah dihukum tidak boleh berpidato di depan umum
oleh pemerintah kolonial. Beliau pertama kali menatap dunia pada 3 Juni 1883. Beliau seorang putra dari Datuk Tumenggung Lareh yang tinggal di Sungai Paur, Bukittinggi,
Sumatra Barat.
Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis memiliki
jiwa petualang yang mendarah daging. Semasa remaja sudah meninggalkan kampung
halaman, merantau ke pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya juga dihabiskan di
perantauan. Rumah abadinya pun berada di bumi perantauan yakni di Taman Pahlawan
Cikutra, Bandung. Beliau meninggalkan 2 istri dan 13 anak.
Pendidikan formal yang diselesaikannya secara tuntas yakni
Sekolah Eropa Rendah atau Eur. Lagere
School yang sering dikenal dengan ELS. Pada 1902, beliau merantau ke
Batavia untuk meneruskan belajar di Stovia. Pendidikannya di bidang kedokteran
tersebut tidak diselesaikan, salah satu alasan keluar dari sana yakni sakit.
Di Stovia, Abdul Muis menemukan kebebasan jiwanya. Beliau
merasa terlepas dari kungkungan aturan keluarga dan adat istiadat. Di
sana pula, Muis memiliki tantangan baru yang membawa dirinya harus bersentuhan
dengan kenyataan kolonial yang diskriminatif. Di kampung halaman, keluarganya
merupakan sosok terpandang sedangkan di Batavia beliau dan sebangsanya dipandang
rendah oleh orang Eropa kolot.
“Orang Barat datang kemari dengan pengetahuan dan
perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang disini.” Demikian refleksi Muis
yang dikutip Azmi dalam biografi Abdul
Muis (1984, hlm. 14).
Hal tersebut yang menjadikan jiwa kritisnya bergelora. Di
Stovia, beliau pernah memprotes aturan yang mewajibkan pelajar Bumiputra
berpakaian tradisional. Beliau
mempertanyakan larangan bagi dirinya untuk berpakaian gaya Eropa. Bagi dirinya,
hal ini merupakan sifat deskriminatif yang sangat berbahaya jika memiliki kelanggengan.
Beliau pun akhirnya tidak tahan dengan sifat
deskriminatif yang terus hidup di sana. Akhirnya, Muis memutuskan untuk angkat kaki
pada tahun ketiga di Stovia. Muis pun memiliki alasan lain yang agak terkesan
lucu yakni ia engan melihat darah, lantas ia menjadi malas ikut praktikum.
Usai meninggalkan Stovia, keberuntungan pun masih
berpihak padanya. Muis direkrut oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwijs (Direktur Pendidikan
) di Departemen van Onderwijs en
Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi kierk (juru tulis). Pada masa itu belum ada orang pribumi yang
diangkat sebagai kierk, dan beliau
adalah orang pribumi pertama. -Hal ini juga diabadikan oleh redaksi Balai Pustaka
di dalam biografi novel Surapati (2014).-
Muis direkrut oleh sosok yang dikenal sebagai penganut
politik etik dan seorang liberal itu dikarenakan memiliki kemampuan
berbahasa Belanda yang baik, meski hanya mengantongi ijazah ujian amtenar kecil
(klein ambtenaars examen) dan ELS.
Kemampuan berbahasa Belanda Muis
dianggap oleh orang Belanda melebihi rata-rata dari orang Belanda itu sendiri.
Pengangkatan Muis menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya. Selain itu,
bekerja di dinas pemerintahan kolonial pun tidak bisa terlepas dari budaya
deskriminasi. Penggajian orang pribumi lebih rendah daripada kolega Eropanya
yang berpangkat dan memiliki beban kerja sama dengan dirinya. Muis pun muak dan
tidak betah bekerja disana dan pada 1905 memutuskan keluar, setelah
bekerja selama kurang lebih dua setengah tahun.
Dengan jiwa bebasnya dan berbagai pengalaman
deskriminatif yang dilihat dan dialaminya sendiri membuat dirinya
menyemai kebencian yang lebih besar terhadap kolonialisme Belanda. Usai keluar
dari ruang tersebut Muis pun memilih jalan lain yang lebih mengarah pada
politik. Pada 1905, dirinya terjun di bidang jurnalistik yakni sebagai anggota
dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Sebuah majalah yang berfokus pada berita
politik di Bandung.
Ketika Bintang Hindia pada 1907 dilarang terbut, Muis
pindah ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan ini
ditekuninya selama lima tahun sebelum diberhentikan dengan hormat karena cekcok
dengan countroleur pada 1912. Muis
kemudian benar-banar masuk ke gelanggang politik usai diberhentikan.
Kala itu, Muis tinggal di Bandung dan bekerja di surat
kabar harian Belanda (Preanger Bode) sebagai
korektor -dalam tempo tiga bulan-. Setelah itu diangkat menjadi hoofdcorrector (kepala korektor) karena
kemampuan berbahasa Belandanya sangat baik. Dalam masa-masa itu datanglah utusan
Sarekat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto, meminta dirinya ikut merintis SI di
Bandung yang kemudian diikuti Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat.
Sarekat Islam Bandung pada akhirnya menerbitkan surat
kabar harian Kaoem Moeda sebagai
corong aspirasi. Agus Widiantoro dalam penelitiannya yang bertajuk Strategi Perjuangan Politik Abdoel Moeis
dalam Sarekat Islam (1995) menuliskan bahwa dengan kepandaian penanya,
harian itu dengan cepat menarik simpati masyarakat. Kaoem Moeda cepat menjadi salah satu surat kabar berbahasa Melayu
yang penting.
Pada tahun itu pula atas inisiatif dr. Cipto
Mangunkusumo, Abdul Muis, Wignyadisastra, dan Suwardi Suryaningrat, membentuk
Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda
mengadakan perayaan besar-besaran seratus tahun kemerdekaannya serta mendesak
Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik
dan bernegara.
Pada era pergerakan, bersama dengan H.O.S. Tjokroaminoto,
Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada 1917, Muis dipercaya sebagai
utusan SI pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.
Pada tahun berikutnya sekembalinya dari negeri kincir
angin tersebut, Muis pindah bekerja di harian Neratja karena Kaoem Moeda
telah diambil alih oleh Politiek
Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen
Engelenberg. Pada 1918, Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat
Jajahan).
Perjuangannya pun tidak berhenti sampai di sana. Muis
bersama dengan tokoh lainnya berjuang menentang penjajahan Belanda. Misalnya,
pada 1922, Muis memimpin anak buahnya yang bergabung dalam Perkumpulan Pengawal
Pegadaian Bumiputra (PPPB) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Pada tahun
berikutnya, Muis memimpin sebuah gerakan yang memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang
Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan Belanda di daerah Sumatra Barat.
Protes tersebut berhasil, landrentestelsel
tidak jadi diberlakukan.
Dalam pergerakannya tersebut, Muis pun masih tetap
memimpin harian Utasan Melayu dan Perobahan. Kedua surat kabar ini menjadi
jalan bagi Muis dan koleganya untuk terus melancarkan serangan-serangan
terhadap kebengisan kolonial Belanda.
Belanda pun merasa tidak nyaman dengan gerakan-gerakan
yang dilakukan Muis. Pemerintah Belanda menganggap pergerakannya dapat
mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Selama lebih kurang tiga
belas tahun (1926-1939) Muis tidak boleh meninggalkan pulau Jawa. Namun, bukan
Muis jika ia berhenti berjuang. Muis kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun surat
kabar tersebut tidak berumur panjang.
Selain berkecimpung dalam dunia pers, Muis tetap aktif di
dunia politik. Serikat Islam mencalonkan Muis (dan akhirnya terpilih) menjadi
anggota Regentschapsraad Garut. Enam
tahun kemudian Muis diangkat menjadi Regentschapsraad
Controleur. Posisi tersebut diemban hingga Jepang masuk ke Indonesia, 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, Muis pun masih bergerak dan bekerja meski penyakit
darah tinggi mulai menggerogotinya. Jepang mengangkatnya menjadi pegawai Sociale Zaken (hal-hal kemasyarkatan).
Kesadaran diri yang merasa sudah tua, pada 1944 Muis berhenti bekerja.
Meski merasa sudah tua, namun pada masa pascaproklamasi,
Muis kembali aktif dan turut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan
Priangan. Bahkan, beliau pernah diminta menjadi anggota DPA. Bakat
kepengarangannya pun nampak terlihat setelah bekerja di dunia penerbitan,
terutama di harian Kaoem Moeda yang
dipimpinnya. Muis menuliskan banyak hal dengan menggunakan nama pena A.M.. Salah
satu diantaranya adalah roman sejarah, Surapati.
Sebelum diterbitkan menjadi buku, roman tersebut dimuat sebagai cerita
bersambung.
Muis dalam dunia sastra dianggap kurang produktif. Beliau
melahirkan empat karya novel atau roman dan beberapa karya terjemahan. Namun,
meski karyanya hanya dianggap sedikit, Abdul Muis tercatat dengan pena emas dalam
sejarah sastra Indonesia. Salah Asuhan merupakan karya besar yang
dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu. Masa itu para
pengarang selalu menyajikan tema lama seperti pertentangan kaum tua dengan kaum
muda, kawin paksa, dan adat istiadat. Salah
Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi –dendam, cinta, dan cita-cita.-
Lagi dan lagi, bukan Muis jika tidak bergerak atau melawan kolonialisme dalam setiap apa yang dihidupi meski melalui jalan sunyinya (sastra).
Sepenggal gambaran kisah getir yang tertuang dalam novel Salah Asuhan.
Habis itu, menghadaplah ia ke pemerintah kolonial dan
meminta persamaan hak sebagaimana orang Eropa. Lalu menikahlah ia dengan
seorang perempuan Belanda pujaannya, Corrie. Tapi, bagi orang Belanda maupun Bumiputra
zaman itu, tentu saja pernikahan itu merupakan
sebuah keganjilan. Terutama orang tidak serta-merta melihat Hanafi sebagai
orang Barat. Sobat-sobat Belanda Corrie pun mengejek pilihannya menikahi
seorang lelaki yang betapapun terpandangnya ia dikalangan Bumiputra, tetap
lebih rendah dua level daripadanya.
Kehidupan pun jadi lebih runyam bagi mereka berdua.
Tersisihlah Hanafi dari pergaulan orang Timur dan sekaligus tak mendekat
sejengkal pun dengan kehidupan Barat yang dijunjungnya. Laiknya pepatah Minang “rasam
minyak ke minyak, rasam air ke air.” Sebuah jurang pun membentang diantara
keduanya.
Lalu datanglah prahara yang kemudian memisahkan dua suami
beristri itu. Corrie minggat ke Semarang dan wafat di sana tersebab wabah
kolera. Sementara Hanafi yang hancur, pulang kembali ke Padang. Ia mencoba
kembali kepada Rafiah, tapi gagal sebab ditentang keluarga si perempuan yang
sudah terlanjur merasa dihinakan.
Merasa hidup begitu getir tiada guna, Hanfi memilih jalan
sungsang menghadap Tuhannya: bunuh diri.
Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1928.
Sekarang novel ini dianggap sebagai kanon. Editorial Balai Pustaka setelah
kemerdekaan menyebut keunggulan novel ini terletak pada pilihan Abdul Muis ‘memenangkan’
adat ketimuran berhadapan dengan westernisasi.
Foulcher dalam Biography,
History and the Indonesian Novel: Reading Salah Asuhan yang terbit dalam
jurnal Bijdragen tot de Taal, Land, en
Volkenkunde (2005:251) mengatakan, analisis saya menunjukkan bahwa problematika
gender dari rasialis dalam Salah Asuhan
dapat dibaca dengan sangat jelas sebagai representasi metaforis dan imajinatif
dari kerumitan pengalaman Abdoel Moeis sebagai intelektual nasionalis
berpendidikan Barat dalam masyarakat kolonial pada masa novel itu ditulis dan
diterbitkan.
Zuber Usman dalam Kasusasteraan Baru Indonesia (1964:44)
mengatakan demikianlah gambaran pemuda Indonesia pada zaman itu jang dilukiskan
oleh pengarah dalam sifat-sifat jang ada pada Hanafi, jang silau matahatinja
pada permulaan berhadapan dengan kebudayaan Barat, jang digambarkannja dalam
diri Corrie. Rapiah adalah lukisan kebudayaan Indonesia, jang diumpamakan
sebagai berlian jang belum digosok.
Karya Abdul Muis
- Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
- Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis), Cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
- Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
- Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
- Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
- Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
- Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
- Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
- Pertemuan Djodoh (Cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
- Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
- Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
- Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
- Don Kisot (terjemahan karya Cervantes, Spanyol)
- Pangeran Kornel (terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
- Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.