Umat manusia mulai awal abad 21 marak membincangkan
krisis ekologi yang menjadi masalah global. Krisis ekologi tidak bisa ditangani
sendiri-sendiri, namun harus ada sebuah gerakan kesadaran bersama untuk berbuat
sesuatu terhadap bumi yang kita tinggali ini.
“Jika bumi hancur, kita akan kemana?” Sebuah pertanyaan
singkat yang patut kita renungkan bersama.
Harari bercerita sedari tahun-tahun lalu, bahwa di atas perang
nuklir, dalam beberapa dekade mendatang manusia akan menghadapi eksistenial
baru yang nyaris tidak terdaftar dalam radar politik tahun 1964 yakni
keruntuhan ekologis. Manusia mendestabilisasi biosfer global di berbagai bidang.
Kita mengambil lebih banyak sumber daya dari lingkungan, sambil memompakan
kembali sejumlah besar limbah dan racun, sehingga mengubah komposisi tanah,
air, dan atmosfer.
Di sisi lain, kita bahkan tidak menyadari banyak sekali
cara di mana kita mengganggu keseimbangan ekologis yang halus yang telah
terbentuk selama jutaan tahun. Misalnya, penggunaan fosfor menjadi pupuk.
Industri pertanian modern didasarkan pada pemupukan ladang secara artifisial
dengan banyak fosfor, tetapi kemudian limbah pertanian dengan kadar fosfor
tinggi itu meracuni sungai, danau, dan laut, dengan dampak yang menghancurkan
kehidupan laut. Seorang petani yang menanam jagung di Iowa mungkin dengan demikian
secara tidak sengaja membunuh ikan di Teluk Meksiko.
Dalam jumlah kecil, fosfor adalah nutrisi penting untuk
pertumbuhan tanaman. Tetapi dalam jumlah yang berlebih maka menjadi racun.
Hasil yang didapat dari aktivitas tersebut, habitat
terdegradasi, hewan dan tumbuhan menjadi punah, dan seluruh ekosistem seperti Great Barrier Reef Australia dan hutan
hujan Amazon mungkin hancur. Elizabeth Kolbert dalam Harari bercerita, selama
ribuan tahun Homo sapiens berperilaku sebagai pembunuh berantai ekologis; sekarang
berubah menjadi pembantai masal ekologis. Jika hal itu dilakukan terus menerus
sampai sekarang maka akan menyebabkan bukan hanya sebatas pemusnahan sebagian
besar dari semua bentuk kehidupan, tetapi juga bisa melemahkan fondasi
peradaban manusia.
Pemerintah dan masyarakat dunia (yang dihidayahi
kesadaran) merasakan keprihatinan mendalam mengenai krisis ekologis yang sangat
mengancam ini. Krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk
berbagai hal yang berkaitan dengan manusia, seperti udara, makanan, air, dan
termasuk sistem organ di tubuh kita. Dan yang paling mengancam adalah prospek
perubahan iklim.
Krisis ekologi merupakan sebuah refleksi krisis spiritual
manusia modern yang telah menghilangkan Tuhan dalam hubungannya terhadap alam.
Kegagalan atau kekurangtepatan manusia dalam memahami hakikat pun realitas alam
menyebabkan sikap eksploitatif yang akut. Selain itu, banyak manusia yang telah
mereduksi makna alam.
Alam seringkali dipandang sebagai objek pemuas pun
pelayan nafsu yang tak berkesadaran. Alam yang seharusnya dirawat penuh cinta
kasih untuk menggapai sebuah hubungan harmonis atas keseimbangan yang luas ini
pun layaknya menjadi pelacur yang dimanfaatkan tanpa ada rasa berkewajiban dan
tanggung jawab.
Apakah kita akan turut serta melacurkan alam? Apakah kita
akan terus mengembangbiakkan pemahaman atas pandangan ketiadaan nilai
instrinsik dan spiritual atas alam? Kita semua patut dan harus merenung atas
segala tindakan kita dan ancaman keruntuhan ekologis masa mendatang. Perubahan
dan kejadian pada masa mendatang adalah buah dari apa yang kita lakukan hari
ini.
Beberapa tokoh pun menyadari bahwa kompleksitas krisis
ekologi ini tidak dapat dipisahkan dari pandangan manusia modern. Langdon beranggapan
bahwa relasi-relasi modern terhadap alam semesta, bahkan sikap dan pandangan
manusia modern terhadap alam, telah mendorong berbagai bencana yang terjadi
dewasa ini.
Gregory pun turut bersuara atas hal ini, tuturnya, sudah
jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya yang mengerikan tumbuh dari
kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik,
ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika. Di atas segalanya, dorongan fantastik
kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan
kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masa mendatang. Fritjof menambahkan bahwa
krisis-krisis global dimuka bumi dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia
modern.
Pandangan tersebut melukiskan kecenderungan problem
kemanusiaan global yang makin terkait satu sama lain sebagaimana halnya
kesalinghubungan dan kesalingtergantungan berbagai aspek dan dimensi kehidupan
itu sendiri.
Berbagai penelitian pun membuktikan bahwa eksistensi
lingkungan hidup kelestariannya mulai terancam secara signifikan. Dalam majalah
Tropika Indonesia tentang Global Forum on
Ecology and Povetry yang diselenggarakan di Dhaka pada 22-24 Juli 1993,
Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) menyatakan:
Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah
manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah kelewat batas.
Disebutkan juga pada setiap detik, diperkirakan sekitar 200 ton karbon dioksida
dilepas ke atsmosfer dan 700 ton top soil musnah. Sementara itu, diperkirakan
sekitar 47.000 hektar hutan dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan antaran
100 hingga 300 spesies mati setiap hari. Pada saat yang sama, secara absolut
jumlah penduduk meningkat 1 milyar orang per dekade. Ini menambah beban bumi
yang sudah renta. Inilah yang sepanjang dua dekade terakhir menyentakkan
kesadaran orang akan krisis lingkungan. Karena hal ini menyangkut soal
kelangsungan hidup jagad keseluruhan.
Pada 1993 saja sudah dikhawatirkan sedemikian rupa dan
hari ini kita patut bertanya kepada diri kita atas hubungan diri (manusia)
dengan lingkungan, kekuasaan dengan lingkungan. Menyedihkannya lagi, John Cook
dkk. Dan Ricard dkk, Jianping dkk. dalam Harari (2018) mengatakan:
Tidak seperti perang nuklir –yang potensial terjadi di
masa depan- perubahan iklim adalah kenyataan saat ini. Ada konsensus ilmiah
bahwa aktivitas manusia, khususnya emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida,
menyebabkan iklim bumi berubah pada tingkat yang menakutkan. Tidak ada yang
tahu persis berapa banyak karbon dioksida yang dapat terus kita pompa ke
atmosfer tanpa memicu bencana yang tak dapat dibalikkan.
Prediksi ilmiah terbaik menunjukkan bahwa kecuali kita
secara dramatis mengurangi emisi gas rumah kaca dalam dua puluh tahun ke depan,
suhu global rata-rata akan meningkat lebih dari 2°C, mengakibatkan meluasnya
padang pasir, hilangnya lapisan es, naiknya air pasang, dan cuaca ekstrem
seperti badai dan topan semakin sering terjadi. Perubahan ini pada gilirannya
akan mengganggu produksi pertanian, membanjiri kota, membuat sebagian besar
dunia tidak bisa dihuni, dan mengirim ratusan juta pengungsi untuk mencari
rumah baru.
Selain itu, kita dengan cepat mendekati sejumlah titik
kritis, di mana bahkan penurunan dramatis dalam emisi gas rumah kaca tidak akan
cukup untuk membalikkan trend dan menghindari tragedi di seluruh dunia.
Misalnya, ketika pemanasan global melelehkan lapisan es kutub, lebih sedikit
sinar matahari dipantulkan kembali dari planet bumi ke angkasa luar. Hal
tersebut berarti planet menyerap lebih banyak panas, suhu meningkat lebih
tinggi, dan es mencair lebih cepat.
Setelah umpan balik tersebut melewati ambang batas kritis
maka akan mengumpulkan momentum yang tak terelakan, dan semua es di daerah
kutub akan mencair bahkan jika manusia berhenti membakar batu bara, minyak, dan
gas. Oleh karena itu, tidak cukup bahwa kita akan mengenali bahaya yang kita
hadapi. Sangat penting bahwa kita benar-benar melakukan sesuatu sekarang.