Malam ini kepalaku mengajak menggelandang menyusuri ingatan-ingatan kelam. Entah, kala itu tepatnya pada tahun berapa, aku kurang mengingatnya. Jika tak salah, sepertinya saat menginjak semester lima, di sebuah kampus yang lumayan ternama di Magelang. Saat itu, aku sedang mengikuti pelatihan di organisasi yang sebenarnya tak kumengerti. Intinya, organisasi itu berbau bumbu jurnalistik atau entah memasak menu jurnalistik.
Hal yang sangat lekat dikepala, meski di ruang jurnalistik, tetapi aku di sana sama sekali tak pernah menulis berita atau meliput siapa yang sedang berbuat apa. Aku hanya sering mengisi rubrik sastra dan seni rupa. Ah iya, aku juga seringkali di-booking membuat komik dengan nuansa satire. Untungnya, saat itu bukan saat ini, alhasil aku baik-baik saja dengan beragam satire yang kubuat.
Kala itu, tanpa kusadari waktu terus berjalan, tak terasa sudah pukul tujuh malam. Perut pun mulai keroncongan, ndelalah skenario Gusti indah di mana salah satu kakak tingkatku mengajak makan di luar. Pilihannya hanya ada angkringan depan kampus, angkringan setelahnya depan kampus, dan angkringan setelahnya setelah depan kampus.
Sepertinya dia juga sadar, uang kami tak cukup banyak untuk mengisi perut di salah sebuah restoran yang instagramable. Dan bukan hanya dia, aku pun sadar jika yang lapar adalah perut bukan akun media sosial kami. Jadi angkringan tak masalah. Dasarnya, makan bukan perkara tempat atau perkara keindahan, tetapi wahana untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam tubuh setelah bercengkerama dengan dunia akademik yang kadang membosankan dan menggemaskan.
Demi menghemat energi, menjaga kesehatan, dan menikmati udara malam, kami putuskan jalan kaki. Kendaraan yang menjadi saksi bisu perjalanan selama ini kuputuskan untuk sejenak menjaga parkiran yang sudah nyenyet. Jalan kaki menyusuri relung malam itu sangat mengasyikkan dan membawa nuansa kenangan tersendiri di hari esok. Terlebih berjalan tanpa genggaman, bercakap tanpa dendam, kaki kami seiringan berjalan menuju tempat makan legendaris yang sering dijuluki kucingan atau angkringan.
Sesampainya, kopi hitam andalannya pun dipesan bersama sebatang rokok berangka mundur yang dinyalakan dengan korek api pinjaman. Aku tak begitu bersahabat dengan kopi, dengan nuansa dingin seperti ini penthil oyot (susu jahe) menjadi minuman favoritku. Rokok? Tak perlu. Aku cukup manja perihal rokok. Aku sangat eman untuk membeli dan terlalu malas untuk memantikkan korek api. Pikirku, aku sudah bisa menikmati rokok gratis bersama para perokok, tanpa harus mengurangi uang sakuku dan menyalakannya sendiri.
Nampaknya kurang sempurna jika di angkringan kami tak memantik obrolan kesana-kemari. Aku memulai obrolan santai tentang masalah organisasi yang tampaknya sudah tak begitu nyaman dihuni. Ia pun juga menyetujuinya dengan ekspresi trengginas. Namun, alangkah lebih baiknya untuk memperbaiki daripada mengakhiri persinggahan kami di ruang itu. Sebab, bagaimanapun, jika kita sudah memasuki sebuah ruang kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menghidupi, bukan membuang dengan begitu saja jika sudah tak mampu menghadirkan kenyamanan dan kehangatan.
Obrolan pun berputar dan mengalir dengan sangat random. Sampai pada akhirnya dia sedikit tersentak setelah melihat ponselnya yang menerima sebaran pesan bahwa sore tadi ada mahasiswa yang ribut dengan warga setelah menggalang dana di berbagai titik lampu merah. Obrolan pun berlanjut sampai ke akar, titik masalah dasar. Kebebasan berpendapat!
Apa yang salah dari hal tersebut? Tak ada. Yang salah adalah baperan, merasa paling benar sendiri tanpa melihat kebenaran yang dilihat orang lain. Emosinya pun mereda saat kuucapkan statemen itu, dan dia juga sadar bahwa memang tak salah juga ketika mengrkitisi adanya mahasiswa yang meminta-minta dengan kardus berlabelkan "peduli" tanpa melakukan kegiatan lain. Ia beranggapan, bahwa lebih mulia pengamen yang lebih mau melakukan suatu usaha, tak hanya sekadar meminta saja tanpa adanya pertunjukan atau apa sebagai nilai tukar yang cukup sepadan kepada mereka yang menginginkan imbal balik.
Sebenarnya siapa yang salah di sini? Apa benar menggalang dana itu salah? Atau malah koreksi dari salah satu warga yang melihatnya yang kurang tepat? Bukankah sebenarnya tak ada yang salah? Semua benar dan semua memiliki nilai positifnya masing-masing? Entahlah.
Aku lupa kesimpulan apa yang aku dapatkan dari angkringan itu. Yang aku ingat pasti, aku cukup kecewa karena aku diajak makan oleh seseorang yang sama sekali tak bertanggung jawab dengan apa yang aku makan. Malam itu, uang sakuku ludes begitu saja. Sialan!
*Ditulis oleh Bagas Ekma alias Manuk
Editor: Pemulung Rasa