“Idealisme adalah kemewahan terakhiryang hanya dimiliki oleh pemuda”-Tan Malaka-
Kata-kata Tan Malaka tersebut kerap kali menjadi api pemicu totalitasnya perkiprahan bagi siswa yang beralih status menjadi mahasiswa. Menjadi bagian dari kehidupan sebagai sosok pemuda baru pun menjadikan diri mereka memacu semangat yang menggebu-gebu. Tak sedikit pula dari mereka mewahidkan sebuah idealisme menjadi penanda status kepemudaan.
Ah, kali ini alangkah lebih baiknya berbicara hal-hal sederhana atau ringan dan meninggalkan sejenak tentang kemewahan sebuah idealisme.
Kepalaku masih lekat dengan masa-masa penuh kemewahan berpikir kala itu. Dianggap menjadi gelontoran yang digadang-gadang setiap unit kegiatan mahasiswa. Dimana masa-masa pengenalan awal sebagai mahasiswa acap kali dijadikan sebagai momentum yang epik untuk menjejalkan pola pikir yang dihiasi narasi persuasif. Jika ada sekelompok organisasi mahasiswa legal sejumlah sepuluh, maka kesepuluh itu pula akan memberi tawar atas idealisme mereka untuk dipelajari.
Intinya yang pertama dan penting untuk dipahami, bahwa dalam sekelompok idealisme memiliki unsur pola pikir yang terbentuk. Dimana keterbentukan ini dapat diciptakan dari kesadaran yang dinamis. Salah satunya pembiasaan berpikir ini dimulai dari keterkatikan untuk mengulik. Stimulus dari kulikan itu bisa berumpan ke suatu pola kebiasaan berkumpul. Ya, benar saja bahwa sebaik-baiknya berpikir adalah yang dapat mencari penyeimbang.
Misalnya, sekelompok mahasiswa baru tidak lebih dari tiga orang jumlahnya. Sebagai eks siswa, apalagi yang belum pernah berkecimpung dengan dunia organisasi. Malangnya, saat memasuki masa perkuliahan mereka dipaksa oleh sistem untuk turut andil dalam pengembangan minat. Apa yang ada dalam pikirannya? Tentu jenuh dan asing.
PR beratnya adalah kestukturan belum terbentuk secara kokoh. Alhasil, mereka terpaksa, dipaksa, dan memaksakan diri untuk berproses. Sejam dalam satu hari harus mereka habiskan untuk membiasakan diri dengan mengobrol atau berdiskusi dan berpikir. Alih-alih untuk referensi, mereka harus membaca minimal satu lembar untuk mencari masalah dan harus dipecahkan. Dirasa percuma, nyatanya dari obrolan masalah-masalah ringan yang mereka pecahkan sebatas dalam pikiran sedikit-sedikit bias dan merubah cara pandang mereka.
Tri semester awal, memasuki masa kekritisan sebagai lembaga pers mahasiswa, forum kecil itu menjelma ruang yang serius. Permasalahan-permasalahan yang harus tersampai pada publik harus diolah seseimbang mungkin. Pendapat, pendapat, dan mencari sebuah rangkaian pertanyaan yang berdasar.
Singkatnya proses mereka, melalui berbagai pemecahan masalah menjadikan mereka terbiasa untuk berpikir. Pun terbiasa pula untuk menciptakan sebuah ide. Sebab, dalam relung pikir tanpa hasil baginya adalah sebuah angan.
Bahkan, kebiasaan-kebiasaan kecil mereka itu membentuk sebuah pondasi pemikiran yang kuat dan bisa mendominasi di beberapa forum. Baginya, itulah kemewahan dari proses terdidik. Dimana memproses agar terdidik tidak terlepas dari batasan ruang dan keformalan.
Namun, hal dalam mempertahankan idealisme tidak seringan yang dibayangkan. Dalam perkembangan kepentingannya, kadang idealisme itu sendiri yang membunuh keidealisan. Dalam satu organisasi tidak semuanya sesuai dengan passion mereka. Lantas dari ketidaksesuaian kemampuan dan tuntutan di dalamnya masih tersisa memiliki semangat dan berliterasi.
Ibarat masa penjajakan, dirinya menerima segala hal yang masuk dan diserap. Bagi mereka yang menyatakan idealis membuat kesimpulan bahwa dirinya sedang dalam fase ambang dan dilepaskan. Padahal pada proses penjajakan itulah pernyotiran sedang berlangsung. Malangnya apabila tidak jeli dalam melihatnya maka akan kehilangan peluang emas.
Memang, yang paling tepat idealisme ditempatkan pada tempatnya dan didukung dengan sistem yang suportif. Dewasa ini, nyatanya wadah-wadah memproduksi pemikiran itu kadang kalah dengan yang berkepentingan. Sebab, tidak ada yang dipertahankan, banyak yang mundur, dan berhaluan lain. Mengasingkan pada tempat lain namun etos pemikiran tetap diletakan pada asasnya.
Kalau setiap idealisme harus ditempatkan pada koridornya, lalu apakah setiap idelaisme yang tak bertempat berarti pemikiran yang gagal?
Tidak, idelaisme adalah pola pikir. Pola pikir adalah penyadaran sebuah konsep. Ibaratnya, buah jambu setelah masak dan jatuh pada kubangan air atau lumpur, dan jika seseorang memungutnya tetaplah buah jambu itu bisa ia makan.
Editor: Pemulung Rasa