Entahlah. Goresan tinta (*baca: cinta) ini bernama apa.
Aku tak peduli dengan nama. Kalian bebas menamainya. Aku tak peduli dengan
penamaan-penamaan yang akan diproduksi di pabrik-pabrik perlambean terlebih
pabrik-pabrik egoisme dan tendensi-tendensi yang di-backing-i emosi sesaat. Aku menulis ini hanya karena
ingin menulis. Ingin. Sekali lagi: ingin!
Tak lebih dari itu.
Bagiku,
nama itu seperti ombak di lautan. Ia hanya bisa disebut dan dipandang, meski
kelihatan ada pun hadirnya tetapi tidak bisa di ambil dengan bak yang digunakan untuk
memandikanmu kala bayi, terlebih dengan gayung yang engkau gunakan untuk cebok.
Terkadang ia pun hanya
mampu dirasa hadir dan adanya bagi diri
yang menghidupi rasa
pangrasa.
Meski tak dapat dipungkiri ia terkadang diabaikan hadir pun adanya ketika diri
tanpa sadar tak menghidupi rasa pangrasa
atau malah mengabaikan rasa pangrasa.
Laut adalah laut. Laut tetaplah laut. Ombak hanyalah bagian kecil kala laut bekerjasama dengan
angin. Kala peluk sepoi menghampiri singgahsanamu di bibir
manisnya pantai, engkau merasakan kedamaian, kesejukan, dan keindahan di dalam
benakmu, lalu dengan enteng engkau menyebut semua rasa itu buah dari debur (yang
diantarkan) ombak.
Padahal semua rasa tersebut buah dari kerjasama angin dan laut yang tak engkau sebut. Bahkan ada peran besar yang terkadang diri
lalaikan. Energi. Ah, Energi maha energi yang menggerakkan keseluruhan melalui
staf-staf keenergiannya.
Di sisi lain ada perasa yang bekerja di dalam dirimu yang
mungkin engkau lalaikan. Ada sesuatu dzat
yang mengahadirkan dan memberitahumu bahwa itu adalah rasa, bukan sebatas
entitas semata. Sedang engkau sendiri pada dasarnya tak bisa menciptakan rasa
itu sendiri. Ada ekosistem kehidupan besar yang saling bekerjasama untuk melahirkan sebuah rasa
sehingga engkau mampu merasakan dan menyebut itu adalah rasa. Ah,
kompleks sekali, Gusti.
“Gusti, mohon maaf atas kesempitan
hambamu yang hina dan penuh dengan kebodohan ini. Gusti, Mohon maaf atas
keakuan di dalam diriku yang terlalu aku aku-akukan, sampai aku tak tahu jika
di dalam diriku aku seringkali menghilangkan Aku, baik secara sadar ataupun tak
sadar,” gumamku dalam menung kala kuketuk pintu rumah-Mu. Gusti,
aku hanyalah gelandangan di wajah-Mu dan pemulung rasa di tengah sabana yang
riuh namun sepi serta di hutan belantara yang digunduli pun ditanduskan.
Sialan!
Aku kepayahan!
Lantas,
alasan apa yang pantas melandasi diriku untuk menyemai dan menabur kesombongan,
Gusti? Jika terkadang dalam suatu ruang ketika diri merasakan sesuatu pun masih
terjebak dalam permukaan belum berjalan menuju esensi, terlebih kompleksitas
kosmik yang saling terkoneksi dan beriringan dalam menghadirkan pun mengadakan sesuatu.
Apakah landasan ketidaktahuan yang akan kujadikan dasar kesombongan? Entahlah. Aku
geli dengan diriku sendiri. Namun, pastinya semua memiliki jawabannya
masing-masing sesuai dengan bentang ruang perjalanan sunyinya sendiri-sendiri
dalam bertafakur dan bertadabur atas segala apa yang hadir dan ada. Dan jawaban
itu pun bukanlah sebuah bahan untuk menggelar panggung perebutan atas kebenaran
dasar. Bukan. Namun, jalan baru menuju pencarian-pencarian yang lainnya dalam
kehidupan ini untuk bekal melahirkan keharmonisan pun keindahan-keindahan.
Ah, hidup adalah bentang perjalanan panjang untuk
menemukan keindahan-keindahan. Kebenaran dan kebaikan memang perjalanan panjang
pula yang harus diperjuangkan, tetapi kebenaran dan kebaikan tak cukup jika tak
melahirkan keharmonisan atas keindahan-keindahan. Terkadang,
untuk berebut benar dan baik atas dirinya sendiri, golongan atau organisasi pun
membutuhkan perjalanan panjang yang seringkali dipaksakan bersandingan dengan
tiket-tiket doktrinasi, propaganda, gontok-gontokan, srengkal-srengkalan, tendang-tendangan, gajul-gajulan, lempar-lemparan tinja, atau apalah-apalah demi
eksistensi keakuan yang fana dan tendensius. Ah, tepatnya membangun opini agar
dirinya lebih diakui dan ditaruh di atas kepala setiap bidikannya. Menggelikan.
Terlebih
jika kita mencari baik dan benar yang lebih universal dengan output kebaikan bersama, humanism, rahmatan lil 'alamin, memayu hayuning bawana, pasti
akan sangat panjang lagi perjalanannya. Tempaan dan hantaman pasti akan hadir,
turut serta menguji niat, tekad, keistikamahan, ketotalitasan, dan tentunya
kenekatan. Namun, semua itu akan tetap berjalan dan bisa diraih jika dalam
ruang tersebut menyemai, menghidupkan, dan menghidupi gelombang kesadaran untuk
saling mengisi, melengkapi, mengingatkan, menguatkan, dan saling bergandengan
satu sama lain.
Singkatnya.
Saat ini, apakah diri akan membaca kelam
untuk bekal tadabur panjang dalam membaca zaman dan pengetahuan atau hanya akan
diam di zona nyaman yang terkadang menjebak dan menipu, bahkan terkadang
menguburmu tanpa engkau sendiri menyadarinya.
Jika
terkubur, lalu siapa yang akan
menggali pekuburan itu, jika ia hadir tanpa diketahui dan dihidupi tanpa
disadari. Atau diri kita akan menunggu semuanya terkubur baru akan menyadari jika
diri kita berada di dalam pekuburan
dimana yang mengubur tak lain adalah sesuatu yang dahulunya sangat dielu-elukan dan diperjuangkan sakralitasnya dalam ruang eksistensi
kepalsuan pun keakuan?
Bagaimana diri kita akan
bangkit dari pekuburan itu jika diri kita menyadarinya sudah terlambat -dikubur dalam-dalam- sedang diri kita tidak memiliki terlebih membawa cangkul atau beragam alat untuk membuat terowongan agar
merasakan semburat cahaya yang akan menuntun perjalanan menuju ruang yang sebenarnya? Entahlah.
Lagi dan lagi, kebenaran dan kebaikan yang engkau ketahui dan kiblati saat ini bisa jadi adalah buah ketidaktahuan atas kesalahan
yang baru akan disadari seperberapa detik berikutnya
atau mungkin di waktu yang akan datang. Atau pernahkah sejenak diri kita berenang dalam samudra perenungan “Apa
yang diri
tampik hari ini dasarnya buah dari ketidatahuan atau pengetahuan diri
atas apa yang ditampik. Atau tampikan yang kian keras itu buah dari berlebihnya
pengetahuanmu ataukah buah dari tidak adanya pengetahuanmu atas apa yang
ditampik. Dan apakah perlu sejenak kita duduk bersama menikmati secangkir kopi di
bawah rindang senja atau sunyi malam sembari bertadabur atas ombak, laut, angin, energi, rasa,
dan ritme langkah kaki? Perlukah?”
Entahlah.
Rasa-rasanya
sangat perlu salah satu petuah sosok besar kujadikan pungkasan dalam pintu
masuk sederhana yang akan mengantarkan ke dalam bilik-bilik yang diri bangun di
dalam kepala dan jiwa. Siapa tahu suatu hari nanti bilik-bilik itu akan dipugar
lalu dibangun sebuah pendapa atau gazebo.
"Tiada sesuatu yang sangat berguna bagi hati (jiwa), sebagaimana menyendiri yang dapat menyebabkan masuk ke medan berpikir (tafakur)."
"Pecinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya."
***
Mungkin, suatu hari nanti jika saya masih diberikan izin
menikmati keindahan, keagungan, dan segala kemahaan Gusti di mayapada ini,
buih-buih rasa di atas akan saya teruskan. Tentunya sebagai
pertanggungjawaban moral pun jiwa atas kesyahduan izin-Nya terkait penggelandangan
dan memulung yang kurasakan. Namun,
teruntuk kali ini, mukadimah sederhananya cukup sekian. Sepertinya sudah
terlalu menjenuhkan diri
kalian yang menyempatkan diri membaca pun
meluangkan waktunya bersilaturahmi dalam tulisan ini.
Alangkah lebih syahdunya, kita sejenak beranjak ke dapur untuk membuat secangkir kopi atau teh
atau coklat, atau mengambil bantal untuk menopang leher dan kepala untuk
berebah. Setidaknya, jika kalian tidak menemukan apa-apa di sini, waktu ngopi
atau ngeteh atau nyoklat atau waktu rebahan kalian tidak terbuang dengan
sia-sia.
Aku
tak mau menjadi penyebab kesia-siaan dalam hidupmu. Aku tak mau melukaimu
dengan kecewa yang hadir dalam rasa pun pikiranmu. Sebab, ketika aku
mengecewakanmu saat itu pula aku sedang menyakiti diriku sendiri, aku sedang
membangun rasa sesal di dalam diriku sendiri, dan aku sedengang mengecewakan
diriku sendiri. Begitulah, kekasih.
Ah,
abaikan saja tulisan barusan. Enaknya, mari kita seruput dulu kopinya atau seduh dulu teh atau
coklatnya. Ssruuuuup... Eeeeh… Nikmat sekali, kekasih.
Bagi
yang sudah mengambil bantal sila
papankan dulu leher dan kepalanya biar nyaman, luruskan dulu boyok
yang sangat tangguh menemani perjuanganmu mengarungi hari dalam
mewujudkan mimpi-mimpi.
Kalau sudah, mari kembali berenang dalam lanjutan tulisan ini di Segaun Rindu dan Udyana di Tengah Sabana [Part II] yang akan sesegera di unggah dan tadi sudah saya sebutkan atas keentahan namanya.