Ruang itu tak lain adalah udyana.
Ruang bisa saja berubah setiap saat seiring dengan berjalannya waktu pun tumbuh kembangnya ekosistem di belantara ruang tersebut. Terlebih ruang itu merupakan salah satu bagian dari ruang yang begitu luas. Namun, ruh yang hidup, dihidupkan, dan dihidupi di dalam ruang tersebut akan tetap sama.
Ruh
tidak terbatas pun terpengaruh oleh bentang ruang dan waktu. Meski tak dapat
dipungkiri akan adanya sebuah perjalanan dimana ruh dalam sebuah ruang akan
mengalami sublimasi dan abrasi-abrasi dari sebuah energi tertentu, baik yang
disadari atau tak disadari. Hal yang harus disadari yakni ruh hidup melalui
bahkan melampaui gelombang.
Ia pun tangguh melawan dentuman-dentuman yang dipaksa dihadirkan, terlebih hadirnya untuk menghantam. Ia sangat tangguh. Tak terkalahkan. Hanya saja kadang diri yang menghidupi ruh itu merasa kalah karena kurang memiliki kepercayaan diri atas kekuatan dari ruh tersebut atau mungkin karena diri tidak menyadari potensi besar di dalam diri sendiri yang mampu menjadi dinding-dinding pertahanan atas segala dentuman dan hantaman.
Rasa ketidakpercayaan dan ketaksadaran atas potensi diri tersebut yang akan
membawa diri benar-benar menjadi kalah. Sebab, diri sudah terjebak dalam sebuah
perspektif bahwa dirinya lebih kecil daripada apa yang datang tersebut. Sedang
di sisi lain, sesuatu hadir dan datang tak lain sebagai bahan ujian atas
keyakinan dan keistikamahan diri dalam menghidupi sesuatu itu sendiri.
Sadar tidak sadar, ia pun mengantarkan jiwa-jiwa yang menghidupi gelombang dalam setiap perjalanan jiwanya kala menapaki setiap lekuk belantara yang penuh dengan duri, ranjau, dan racun-racun -yang bisa saja ditaruh di dalam cangkir-cangkir kopimu- tanpa engkau ketahui pun sadari. Kali ini, kewaspadaan dan kejelian adalah modal utama untuk bertahan hidup.
Selain itu, diri pun
harus pandai-pandai meng-iqra’-i ragam pementasan dengan segala
kemungkinan-kemungkinan dibaliknya. Terlebih belantara itu kini kian tumbuh
besar dan subur, tak dapat dipungkiri jika akan banyak tanaman yang ditanam di
sana. Bisa jadi pula, di belantara udyana
itu ada petani atau pekebun yang memiliki otot pun kecerdikan lebih darimu, lalu menanam jenis
tanaman baru yang masih asing di dalam pengetahuan pun pengalaman dirimu kala menjadi
petani atau pekebun di salah satu ruang belantara udyana itu.
Ah, sialan. Ini kenapa mbladrah kemana-mana. “Kepala, tolong sejenak fokus. Jangan
terjebak pada sebuah kemungkinan-kemungkinan atau
ketidakmungkinan-ketidakmungkinan -yang bisa jadi mungkin atau tidak mungkin- yang
tanpa bosan bergentayangan dalam ingatan dan membuatmu ditenggeri kegelisahan.
Kepala, please, sejenaklah menepi,
dan kembali bersamadi di ruang pertapaan yang transedental ini.” bisikku pada
kepala yang seringkali berontak pada diriku sendiri. Sialan!
Lagi dan lagi, perkara hidupnya sebuah ruang, pada
dasarnya bisa diputuskan: berlanjut hidup agar lebih hidup atau tidak menghidupkannya.
Dan pilihan yang paling simpel dan tidak membutuhkan kerepotan-kerepotan
sistematis dan prosedural adalah tidak menghidupkan. Diri cukup bermodal
mematikan rasa, moralisme, dan memutilasi afektif di dalam jiwa pun pikiran. Atau
lebih mudah lagi hilangkan esensi dalam setiap buah dari ruang tersebut.
Sederhana kan? Ah, semua memiliki jawabannya sendiri-sendiri, dan aku tak memiliki hak untuk memukul rata sebuah jawaban. Sungguh bodohnya diriku jika memukul rata begitu saja.
Hidup pun merupakan sebuah perjalanan
panjang menemukan jawaban-jawaban dan melahirkan pertanyaan-pertanyaan atas
jawaban yang telah dijumpainya untuk menemukan jawaban-jawaban lain yang juga
akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru lainnya. Begitulah ekosistem pengetahuan
bekerja. Tapi hal yang nampak sederhana terkadang tidak sesederhana apa yang
dipikirkan pun dibayangkan. Terkadang ia malah lebih ruwet daripada
keruwetan-keruwetan yang diri pikirkan dan rasakan saat ini.
Setiap keputusan atau pilihan pasti melahirkan konsekuensi-konsekuensi baik jangka panjang, menengah, atau jangka pendek, baik bagi diri sendiri atau sesuatu yang berada di luar diri. Kala keputusan tak menghidupkan yang dipilih, diri pun harus mempersiapkan pondasi yang kuat dan dinding-dinding pertahanan stabilitas psikologis untuk mengantisipasi suatu hal di hari mendatang jika ada gelombang atau dentuman yang tetiba hadir.
Terlebih yang hadir adalah serumpun spesies
yang berjuang melepaskan pakaian-pakaian konvensionalnya lalu menarik dirinya
ke dalam sebuah pemikiran-pemikiran yang mungkin akan sulit dieja dan ditebak
arahnya untuk mendapatkan esensi dari apa yang ditelisik pun diperjuangkannya.
Spesies yang ingin memahami sesuatu dan mencoba menghidupi perasaan mendalam
terhadap kuasa pun historis dari sesuatu itu sendiri dengan tujuan memahami
detail pun kegamblangan dari sesuatu itu sendiri. Kemurnian.
Spesies tersebut bukanlah spesies yang sebatas ingin menengok untuk bernostalgia atau merenungi surga yang telah hilang, atau memandang ke depan dengan sebuah pengharapan yang lebih baik. Bukan.
Di sisi lain, dalam setiap perjalanan pasti ada mata tak lagi bisa leluasa memandangi dan raga tak lagi bisa menyinggahi ruang itu. Namun, ruh tetap mengantarkan dan selalu menemani diri menapaki jalan penempaan jiwa yang pernah diajarkan oleh suatu gelombang ruh di dalam ruang tersebut.
Mungkin, di
hari-hari yang kian baik ini, mata tak lagi bisa saling bertatap, bahkan ada
yang belum pernah saling menatap. Namun, berbekal kekuatan gelombang yang hadir
dan ada, semua saling terkoneksi dalam pusara jiwa. Mereka hidup dalam satu
ruang cinta yang dihidupi dan menghidupi ruh itu sendiri. Gelombang-gelombang
yang terus berpusara di dalam jiwa para pejalan itu pun akan melahirkan
gelombang-gelombang kesadaran yang tak terbendung. Ya, kesadaran akan adanya
ruh yang terus hidup.
Kesadaran merupakan sebuah perjalanan yang akan
menjadikan semburat ruhnya dalam perjalanan waktu kian merona, melebihi bercak
cahaya yang pernah ada di dalam ruang itu. Semua pasti berharap sama; dalam
setiap perjalanan sebuah ruang selalu menghadirkan keindahan-keindahan
tersendiri yang saling melengkapi keindahan yang pernah ada dan hadir. Namun, kesadaran
akan adanya ruh tersebut adalah sesuatu yang harus kita renungkan dan tanyakan kembali
ke dalam diri kita.
Masihkah adakah ruh di udyana? Masihkah ingin dihidupikah? Jika iya, masih perlukah diri
kita sejenak singgah di pendapa atau gazebo menikmati secangkir kopi dan
menikmati setiap kolesterol yang disajikan dalam gorengan-gorengan kemesraan
secara bersama-sama sembari berbicara mau kemana kita?
Ah, sebelum berbicara tentang pendapa atau gazebo dengan segala harmonisme pun keindahan-keindahan yang sedang menyinggahi angan, aku ingin sejenak berdiskusi kepada diriku sendiri. Aku ingin bertanya kepada diriku sendiri tentang kegelisahan yang seringkali tanpa tata krama membombardir pikiran.
“Masih sempatkah kita berjalan menyusuri setiap sisi dan
lorong dari bilik-bilik tendensi untuk mencari pendapa atau gazebo? Ataukah
lebih baiknya ikut dengan produk wacana tendensius yang akan mengantarkan diri
pada sebuah persepsi dan perspektif akan pentingnya membangun bilik-bilik agar
sebuah historis kekuasaan langgeng dengan kuasa yang dibangunnya dalam setiap
pikiran yang di hinggapinya? Bukankah akan jauh lebih harmonis jika kita
sejenak duduk menikmati secangkir kopi dan haha hihi mencari sebuah keabadian
atau kemesraan-kemesraan yang akan dilahirkan oleh pendapa atau gazebo yang
hilang? Ataukah kita akan terus menikmati penguburan dalam kefanaan yang tak
disadari digerakkan oleh tendensius keakuan itu sendiri?”
Entahlah. Waktu akan bercerita dengan sendirinya. Di hari
yang baik ini, alangkah lebih syahdunya kita menikmati secangkir kopi dan
menghayati energi semesta yang sangat baik ini sembari menghidupkan angan pun
bayang jika di udyana itu
bilik-biliknya dipugar, lalu dibangun pendapa atau gazebo yang menjadi ruang
duduk melingkar bersama-sama untuk sinau bareng dan kembali belajar atas
pondasi yang diri pijak dan tatapan hari esok yang pernah kita semai dan
mimpikan bersama-sama di udyana ini. Ah,
pasti akan sangat nikmat dan syahdu sekali. Diskursus atas ruh pun akan turut serta
mengalir deras.
Dari bilik sunyi, aku memandang udyana itu kian beragam bebungaan yang ditanam. Harap para petani rerinduan yang dulu turut berkebun di udyana itu, seluruh ruang akan harum dan dipenuhi keindahan-keindahan. Lalu lalang orang yang seringkali melewati udyana tanpa melirikan matanya sedikit pun akan memilih untuk sejenak menyinggahi. Bisa jadi mereka akan candu dengan nuansa yang dihadirkan udyana. Semua akan merindu keindahan-keindahan dan tabur wewangian dari ragam kelopaknya yang indah. Terlebih di tengah sesaknya kepala, ruang gerak, dan debur ombak yang membasahi singgasana pun panggung pementasan kehidupan yang makin brengsek dan menggemaskan ini.
Memang, dalam merawat udyana
yang kian banyak bebungaan pun tanaman akan banyak menguras energi, waktu, pun
pikiran. Potensi lahirnya hama pun akan makin banyak. Para pekebun membutuhkan
kejelian, kesabaran, pun kesungguhan lebih untuk mengantisipasi serangan ragam
hama yang tidak tahu kapan datangnya, dari sisi mana akan menghinggapinya. Di
sisi lain, para pekebun harus memiliki keamanan yang lebih kuat untuk mengantisipasi
perilaku atau sesuatu hal yang kurang berkenan dari pekebun-pekebun lain di
ruang itu.
Teruntuk para pekebun udyana,
jangan pernah lelah menjaga, merawat, dan menghidupi udyana. Jika ingin hidup di udyana
jangan hanya ingin menumpang ketenaran karena keindahan yang disajikan, jangan
hanya ingin menikmati apa yang ada namun wakafkanlah dirimu untuk menjadi
pekebun yang benar-benar berkebun untuk udyana.
Perkara apa yang akan didapatkan dari udyana,
biarkan alam semesta yang bekerja untukmu pun memperjalankanmu.
Jika lelah berkebun, sesekali berjalan di ruang sunyi,
peluk dirimu sendiri, dan bercengkeramalah dengan dirimu sendiri. Sesekali diri
perlu bertanya mengapa diri memilih menyinggahi dan menghidupi udyana sampai sejauh ini, sedang di
ruang itu banyak ruang-ruang lain. Mungkin, itu bisa menjadi salah satu cara
sederhana menghilangkan rasa lelah yang singgah di dalam dirimu. Atau mungkin
malah akan mengantarkanmu ke ruang memiliki yang benar-benar memiliki yakni kemurnian
dari cinta itu sendiri.
Teruntuk kalian yang sudah singgah di sini, terima kasih. Goresan tinta kali ini tak lain adalah lanjutan dari goresan tinta waktu lalu yang bertajuk Segaun Rerinduan dan Udyana di Tengah Sabana [Part I]