Suara itu tertatih-tatih, seperti langkah kakinya yang kian menua. Suara itu terbata-bata, seperti nafasnya yang telah dimakan usia. Namun, merdu. Ketulusan dan keistikamahan tak henti mengalun bersama langkah kakinya menapaki marcapada ini. Kala aku mendengar atau melihat kerumunan orang di padang selawat dengan iringan rabana, Mbah Mirya tak pernah luput dari ingatanku. Melihat Mbah Mirya adalah melihat cinta yang cinta pada Sang Maha Cinta dan kekasih-Nya.
***
“Bahagia itu dekat dengan kita, ada di dalam diri kita,” batinku setiap melihat dan mengingat Mbah Mirya. Kepala dan pangrasa pun seketika langsung berjalan-jalan dan bergeriliya menyusuri ruang-ruang kesunyian. Pertanyaan-pertanyaan mengalir deras seperti air terjur Benang Kalambu yang mengalir menuju samudera rasa Mbah Mirya.
“Apa iya beliau sedang hidup dalam gelombang kata yang dirakit oleh Buya Hamka dalam sampul buku Tasawuf Modern. Sepertinya, beliau juga tidak mengenal atau mengetahui Buya sebab beliau sibuk berkutat dengan kesibukannya menjelmakan ketela menjadi ceriping goreng. Terlebih dusunnya yang berada di sudut pedesaan mungkin menjadi salah satu faktor penghambat transfer kata-kata Buya,” gumamku sembari menikmati bau sedap uap kopi hitam dengan sedikit gula jawa dan mendengarkan lantunan kidung yang tembangkan perkutut milik Mbah Buyut.
Kala menyeruput kopi hitam di cangkir blirik itu, pikiranku pun makin melayang. Kejailan pikiran kembali bergelora dan sesak dengan ukara-ukara tentang Mbah Mirya.
“Jangan-jangan beliau malah sedang hidup dalam gelombang kata yang diucapkan Socrates ‘hidup yang tidak dimaknai tidak layak dihidupi.’. Namun, apa iya Mbah Mirya membaca buku-bukunya Socrates, sedang toko buku juga jauh dari tempat tinggalnya. Pastinya, daripada untuk membeli buku lebih baik menggunakannya untuk membeli beras dan tempe sebagai bekal hidup beberapa hari ke depan. Sebuah ketidakmungkinan pula Mbah Mirya hidup dalam diskursus-diskursus filsafat barat.”
Kepala ini kian jauh berjalan menuju pada sebuah ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang juga belum tentu bisa dibuktikan ketidakmungkinannya. Perempuan sebayanya kala itu berkehidupan seperti masyarakat desa pada umumnya, bertani, dagang di pasar tradisional, jualan keliling seperti dirinya, dan buruh serabutan. Mereka bisa bercengkerama pun hanya usai sembahyang di langgar, terkadang di saung kala mengistirahatkan pinggangnya usai bersetubuh dengan ladang di bawah terik mentari.
Usai lohor, biasanya Mbah Mirya selalu melewati jalan tikus samping rumahku. Tangan kanannya menenteng beberapa ikat ceriping mentah, sedang punggungnya menggendong tenggok berisi ceriping yang sudah digoreng. Tangan kirinya memegang tongkat untuk penyangga jalannya. Pernah suatu ketika kala aku dan Tugio sedang ngopi dan bermain catur di gubuk belakang rumah. Lirih terdengar suara khas dari ayunan kaki Mbah Mirya yang menghadirkan musikalisasi sandal teklek dengan tanah dan kerikil-kerikil. Syahdu.
“Nah, mulut kita sebentar lagi tidak nganggur. Ceriping Mbah Mirya akan menghibur lidah kita.” ujar Tugio dengan ekspresi yang berbunga-bunga, sebab sebentar lagi cacing-cacing di dalam perutnya berhenti berkelahi dengan usus.
Aku hanya tersenyum. Selang beberapa saat musikalisasi itu makin gamblang diantarkan angin dengan penuh kelembutan menuju gendang telinga kami.
“Nak, ceripingnya, nak. Cocok buat teman ngopi dan main catur,” tutur lirih dengan suara yang terbata-bata menawarkan dagangannya ke kami.
“Mungkin simbah kelelahan sebab kakinya menahan licin jalan tikus di seputaran sini,” batinku dalam hati kala mendengar ucapan Mbah Mirya.
“Ceripingnya tiga ya mbah. Simbah istirahat dan berteduh dulu di sini, nunggu gerimisnya reda. Baju simbah sudah mulai basah, tapihnya juga mbah. Nanti kalau masuk angin malah repot,” ucapku sembari mengambil uang enam ribu di kantong kanan.
Simbah dengan penuh kehati-hatian menurunkan tenggoknya. Tangannya sangat teliti membuka ikatan-ikatan ceriping itu. “Ini nak.” tuturnya sembari mengulurkan tiga ikat ceriping kepadaku lalu aku menulurkan uang enam ribu yang kuambil dari saku barusan. Lanjutnya “Terima kasih nak. Simbah numpang istirahat sebentar ya nak.” Simbah menggeser tenggoknya dan ikut duduk bersama kami.
Batinku bergemuruh akan rasa yang bercampur aduk. Betapa bahagianya keluarga simbah. Aku yang hanya bisa turut serta memandangi keistikamahan jalan hidupnya pun merasa turut senang. Bagaimana tidak, simbah ini sudah berpuluh-puluh tahun berjualan ceriping. Di dusun, sepengamatanku hanya simbah ini yang hidupnya dilimpahi keharmonisan rumah tangga yang bisa dikatakan paripurna. Sedari kecil, aku belum pernah sedikit pun melihat wajah simbah mengeluh atau marah-marah kepada siapa pun. Simbah selalu hidup dalam senyum. Keramahan mekar di dalam jiwanya.
Tugio, teman ngopi dan main caturku ini adalah salah satu oknum yang pernah digerakkan oleh Tuhan untuk menguji kesabaran dan kebaikan simbah. Sepulang sekolah kala itu Tugio meminta ceriping pada simbah karena dirinya tidak kuasa menahan lapar. Tanpa berpikir panjang, tanpa suara apa pun, simbah langsung menurunkan tenggoknya dan memberikan seikat ceripingnya. Makhluk satu ini pun juga tak mengenal terima kasih. Usai diberikan ceriping, ia mengambil sandal Mbah Mirya yang digantung di tenggoknya. Memang simbah ketika sudah kelelahan berjalan selalu melepas sandal tekleknya dan menggantungkan di tenggok dengan ikat dari sobekan pelepah pisang.
Ia sangat kurang ajar, sandal itu dipakainya untuk lari-lari. Dia merasa sangat senang karena dari hentakan teklek itu menghadirkan nada seperti kuda yang berlarian. Kebetulan waktu itu di daerah rumahnya pak Nawir yang memelihara angsa. Mungkin karena ketidak sopanannya kepada orang tua, ia mendapat karma dikejar-kejar angsa. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Simbah ekspresinya was-was. Beliau takut Tugio dihajar habis oleh belasan angsa seperti yang dialami Kang Tarsin.
Ia berlari kesana-kemari, tapi angasa tak kenal putus asa mengejarnya. Saking takutnya, sandal teklek itu dilepas dan dilemparkan ke kerumunan angsa yang mengejarnya. Satu sandal mengenai kepala angsa dan satu sandal masuk ke selokan. Teklek itu tidak diambilnya lagi, apalagi di kembalikan, tidak. Tugio langsung pulang. Namun, Mbah Mirya hanya tersenyum sembari berkata, “Alhamdulillah, nak Tugio tidak teot angsa.”
Mungkin senyum simbah kala itu sebagai wujud keberhasilan Mbah Mursyid mengimami hidupnya. Sosok lelaki taat, baik, hidup penuh kesederhanaan, penuh kasih sayang kepada siapa pun, semuanya itu hidup dan dihidupi Mbah Mursyid. Sewaktu beliau masih hidup, setiap asar dan waktu sembahyang lainnya, sepasang kekasih ini selalu berdampingan berjalan menuju langgar. Sebagian aktivitas dalam hidupnya selalu dipikul bersama. Setiap pagi bakda subuh beliau sudah berangkat ke sawah mencari rumput untuk makan kambing. Sekitar jam sepuluh kadang mereka berdua bersama-sama menuju sawah. Mbah Mursyid memikul cangkul dan menyangking ikat dari pelepah pisang, sedang Mbah Mirya menggendong tenggok dan membawa arit.
Bapakku pernah bercerita, saat di ladang melihat beliau sholat dzuhur berjamaah. Mbah Mirya menggunakan jaritnya untuk mukena. Mbah Mursyi mengenakan sarung yang tidak pernah berpisah darinya, dimana pun. Mungkin karena nanggung waktunya. Jika pulang jaraknya jauh, bisa tertinggal jamaah di masjid, sedang ketela yang sedang diambilnya tinggal sebentar lagi selesai.
Aku membayangkan pemandangan itu, pasti sangat indah. Setiap sore bakda maghrib Mbah Mursyid mengajari aku dan teman-temanku mengaji, mulai dari turutan sampai kitab-kitab. Usai mengaji, kami tidak boleh langsung pulang. Selalu diajak salat isya’ berjamaah dulu. Setelah itu disuruh menunggu ceriping yang digoreng Mbah Mirya matang. Biasanya usai kelar wirid Mbah Mirya menenteng telenan dari seng yang berisi sepiring ceriping dan teh pahit. Mungkin hal tersebut yang menjadikan anak-anak seusiaku waktu itu semangat mengaji dan selalu menunggu-nunggu wirid segera usai.
Jika teringat waktu itu, kadang air mataku tanpa sadar menetes. “Mbah, kami rindu.” Kalimat itu yang selalu bergelantungan di hati kami.
“Mbah, kenapa tidak menggunakan tangan kanannya untuk memegang tongkat simbah. Simbah pasti lebih kuat pegangannya dan semisal terpeleset simbah bisa lebih sigap,” ucapku memecah keheningan disela-sela gerimis.
“Nak, simbah mencari rezeki dari ceriping ini. Rezeki itu dari Gusti. Tangan kiri itu kan selalu digunakan untuk tempat-tempat yang sering kita anggap kotor, meski hakekatnya itu ya tidak kotor, hanya membawa najis. Simbah tidak mau membawa jalan rezeki di tangan yang sering digunakan untuk memegang barang kotor itu. Semoga dengan cara ini simbah mendapatkan keberkahan dari Gusti,” ujar simbah dengan mimik penuh senyum. Tatap matanya pun masih sama seperti dulu, dalam dan membuat siapa yang memandangnya selalu ingin terus berbicara.
Aku seketika diam. Kata-kata yang mulai berjalan menyusuri kerongkongan pun seketika lumpuh. Bagi kami, mungkin perkara membawa adalah hal kecil yang tidak perlu dipikirkan sedemikian rupa. Namun, kali ini aku mengamini apa yang dikatakan simbah dan aku memikirkan tanganku. Apakah tanganku lebih hidup yang kiri atau yang kanan. Apakah caraku menghidupi tangan ini berdampak dengan kehidupanku bermasyarakat dan bersosial atau tidak.
“Mbah Mursyid saat ini pasti sedang tersenyum mendengar kata-kata simbah,” Celetuk Tugio dengan suara yang masih dihiasi musikalisasi ceriping.
“Nak Tugio ini ada-ada saja. Doakan saja semoga simbah tersenyum di sana. Mendapatkan tempat terbaik,” balasnya sembari menata jarit yang digunakan untuk menggendong tenggoknya.
Aku pun masih terdiam. Ada rasa yang bergemuruh. Entah, perasaan apa yang sedang menyinggahiku. Jelasnya, aku rindu sosok Mbah Mursyid.
“Oh iya mbah, mohon maaf waktu dulu saya pernah membuang sandal simbah untuk melempar angsa yang mengejar saya,” celetuk Tugio dengan raut muka yang agak malu-malu.
“Tidak apa-apa, Nak. Namanya juga kepepet,” jawab simbah yang mulai menggendong tenggoknya dan memakai sandal teklek yang kala dulu dilempar Tugio. Lanjutnya. “Nak gerimisnya sudah berhenti, simbah nafasnya sudah lega. Simbah lanjut berjualan dulu. Terima kasih ya, Nak.”
“Sama-sama mbah, hati-hati.” Tanpa kompromi dan rencana apa pun, ucapan kami sama.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya sembari menundukkan kepala dan melangkahkan kaki kanannya.
“Waalaikum salam mbah,” sahut kami, bersamaan.
Penuh kehati-hatian simbah melangkahkan kakinya. Tongkatnya mengalun lembut, meninggalkan bekas pijakannya. Aku kembali menyeruput secangkir kopi dan menyalakan rokok. Getar itu kembali hadir. Catur kami pun masih berserakan. Kami diperkosa diam.
“Muhammadun muhammadun basyarun la-kal basyari bal Huwa kal bal Huwa kal ya-quwti baynal hajari,” suara itu terdengar lirih dan semakin tak terdengar bersama langkah kakinya.
Shalawat itu di iringi alunan rabana Mbah Mirya dari lantunan suara sandal teklek yang berkolaborasi musikalitasnya dengan tanah becek dan kerikil-kerikil yang mulai tertutup tanah karena hujan. Beliau selalu melantunkan itu dimana pun berada. Entah di sawah, di rumah, ketika memasak, dan keliling berjualan. Tak pernah terlupakan, sedikit pun.
Aku pun hanyut diterpa gelombang ingatan ketika mengaji bersama Mbah Mursyid waktu itu. Ketika Mbah Mursyid bertanya kepada kami “Siapa yang ingin menjadi makmumnya kanjeng nabi dan bersalaman kepada kanjeng nabi?” Mbah Mirya berteriak dari dalam “Saya!” dengan mata yang berkaca-kaca. Beliau pun langsung menghampiri kami sembari membawa telenan warisan ibunya yang berisi sepiring ceriping dan teh.
“Tidak ada yang lebih indah kecuali bisa menatap wajah kekasih-Nya, menjadi makmumnya, atas izin-Nya.” Ujar Mbah Mirya sembari menaruh telenan, kala itu.
Kami yang berada di sana hanya terdiam dan menunduk.