Teruntuk
kalian yang baru saja singgah di sini dan agar mendapatkan keutuhan muatan
dalam artikel ini, alangkah lebih baiknya singgah sejenak di artikel
sebelumnya, Sebuah Tadabur Sederhana; Kamar Mandi, Jamban, dan perjalanan punKesyahduannya [Bagian I].
Jangan
lupa, siapin dulu secangkir kopi atau coklat atau tehnya, atau rebahin badan
dulu dengan nyaman. Semisal di sini kalian tak menjumpai apa-apa, setidaknya
waktu ngopi atau ngeteh atau nyoklat atau rebahan kalian tidak terbuang
sia-sia.
Gundulku pun rasanya sesak membayangkan semua
itu. Terlebih kala memikirkan atas segala kegoblogan dan kesombongan yang
seringkali singgah di dalam diri tanpa disadari.
Belom lagi kalau membayangkan bagaimana
historis perjalanan lahirnya sebuah perlengkapan, aksesoris, dan peralatan
kamar mandi dan jamban yang kini banyak diburu, diimpi-impikan, bahkan menjadi bayang-bayang
pun keheranan di dalam kepala. Bagaimana sistem dan struktur bentuk dan pola
inspirasi itu diciptakan dan dijalankan di dalam kepala setiap manusia.
Gundulku pun dibuat takjub dengan inspirasi yang
digerakkan oleh energi maha dahsyat atas langkah dan penyelesaian yang mana titik
awalnya dimulai dari manusia mampu merasakan, merespon sebuah rasa, dan
mengelola rasa itu di dalam akal pikirannya yang berujung melahirkan sebuah
jalan penyelesaian dari sebuah rasa ingin pipis dan boker.
Belum lagi bagaimana manusia diberikan
energi penggerak untuk mengeksekusi inspirasi yang pasti juga melahirkan
kegelisahan-kegelisahan tersendiri ketika digerakkan untuk meng-upgrade kamar mandi dan jamban agar
lebih nyaman, estetik, artistik, dan segala sebuatan-sebutan lainnya. Selain
itu, produk dari ragam inspirasi dan penggerakan itu kok ya makin kemari jika diamati menjadikan adanya sebuah
kelas-kelas tersendiri dari kamar mandi dan jamban.
Tentunya, tulisan ini belum bermaksud
membahas kelas-kelas seperti yang digaungkan Karl Marx. Belum. Masih sebatas
tadabur sederhana atas keheranan yang bergemuruh di gundulku yang sebenarnya pasti ini juga sebuah awal gemuruh. Semoga
saja ndasmu tidak riuh dan bergemuruh.
Gileeeee!
Beberapa belas tahun lalu, mata ini
masih merekam orang boker di parit
pematang sawah pun orang pipis di semak-semak dan di pohon. Pastinya ia pun
cebok dengan air yang mengalir di parit itu atau dari daun-daun yang ada di sekitarnya.
Ada pula yang sebatas nylentik-nylentik atau
nggesot-nggesotke pusakanya di pohon
tersebut. Jika beruntung, mereka aman dari serangan Tengu yang seringkali
memicu hasrat garuk-garuk dengan penuh penghayatan pun penjiwaan itu bergelora
di dalam jiwa.
Sedang di sisi lain di ruang lain
beberapa waktu lalu ada Hang Fung Golden,
sebuah toilet yang harganya sekitar 70 miliar. Harga yang sangat fantastis untuk hamba
miskinis ini, terlebih hanya digunakan untuk urusan ngising dan pipis.
Lagi dan lagi, gundulku pun tak kuasa membayangkan sesuatu di baliknya, terlebih
apa yang ada di balik pikiran manusia yang seringkali membuat kategori-kategori
tersendiri atas sebuah produk, baik dengan sebutan ketinggalan zaman, usang,
tradisional, modern, gaul, sultan, dan sebutan lainnya.
Selain itu, ada juga literatur yang menceritakan
ragam aksesoris kamar mandi termahal di dunia. Seperti, Theodent 300 toothopaste, sebuah pasta gigi seharga 100 dolar atau
sekitar 1.4 Juta. Gila kan ini, melebihi gaji beberapa kali lipat dari orang
yang memilih jalan mengabdi mencerdaskan kehidupan bangsa yang tidak terlalu
dipikirkan secara maksimal oleh bangsanya sendiri. Seperti yang beberapa waktu
lalu sempat viral di medsos.
Gundulku pun makin terheran-heran ketika membayangkan beberapa belas tahun lalu masih melihat orang gosok gigi menggunakan sabut kelapa tapi kini ada Reinast Luxury Toothbrush. Sikat gigi besutan Jerman, berbahan tintanium seharga 4.375 dolar atau sekitar 62 juta. Katanya, produk ini dilapisi antibakteri diantara sikat dan kepala sikatnya. Kepala sikatnya pun bisa diganti sehingga tidak perlu dibuang selama enam bulan pemakaian.
Tentu
produk tersebut tidak seperti sikat yang seringkali kita gunakan yang terkadang
sampai bentuknya njeber-njeber pun
masih dipakai. Entah, harus berapa lama tidak makan, minum, beli kuota, dolan-dolan, nongkrong, nonton ke bioskop kita akan mampu membelinya jika
keadaan UMR pun terkadang masih sangat mengilukan jiwa raga.
Gundulku pun makin kemebul memikirkan kamar mandi dan jamban dengan segala makna-makna
di baliknya. Bagaimana tidak, jika dari fungsi kamar mandi pun sebenarnya diri
kita sudah ditampar keras. Kamar mandi yang sering diartikan sebagai ruang
untuk bebersih jasmani, mencuci pakaian dan beragam perabotan pun benda lainnya,
pipis, boker pun sudah memberikan filosofis
tersendiri yang sangat mendasar.
Sepertihalnya mandi. Terkadang kita masih terjebak dalam pemahaman dimana mandi adalah sebuah ikhtiar membersihkan kotoran, bakteri, keringat, meminimalisir bau, dan mendapatkan kesegaran pun kenyamanan. Tak heran jika sedari kecil kita sering disuruh mandi sehari dua kali, katanya biar selalu bersih dan wangi. Mandi masih ditangkap secara fisik dan materiil.
Mungkin dibalik adanya kamar mandi itu sebagai suatu bentuk pendidikan bahwa hidup ini harus sering-sering bebersih jiwa atau batin. Jika fisik dibersihkan dua kali sehari maka batin harus lebih. Siapa tahu banyak bakteri-bakteri, kotoran-kotoran negatif yang berada di dalam akal pikiran dan jiwa kita. Terlebih potensi adanya hal negatif di dalam pikiran dan jiwa di era sekarang ini sangat besar. Kita harus sering-sering membasuh jiwa kita.
Lagi dan lagi, dari inspirasi yang
menggerakkan manusia untuk mandi pun terkadang manusia dibawa ke sebuah gelombang
inspirasi lain lagi. Sepertihalnya tokoh besar Woody Allen, seorang sutradara, aktor,
sekaligus penulis yang dikenal dengan kutipan-kutipan syahdunya. Beliau
mengakui pikirannya menjadi lebih encer dalam menghasilkan ide-ide briliannya
saat berlama-lama di bawah shower.
Hal tersebut hampir mirip dengan Budhe
Agatha Cristie, bedanya budhe sambil sambil menjejerkan apel-apal yang telah
digigitnya. Dari hal itu Budhe pun seringkali mendapatkan ide-ide menulisnya.
Pakdhe
Archimedes dengan hukum volumenya pun
lahir di bak mandi. Konon, pemikirannya itu diberikan pencerahan kala dirinya
melihat air yang tumpak dari bak mandi ketika ada benda lain yang masuk di
dalamnya. Alhasil, kejadian itu menjadikan dirinya menemukan teorinya dan
langsung berteriak EUREKA!
Ekosistem inspirasi pun makin berjalan
panjang. Dari inspirasi-inspirasi yang didapatkan banyak orang kala berada di
kamar mandi dan di atas jamban pun melahirkan inspirasi-inspirasi baru bagi
orang lain, baik secara langsung atau tersirat. Begitu seterusnya.
Belum lagi dengan pipis dan boker. Mereka pun mengajarkan hidup
dengan caranya masing-masing. Semahal dan sesangar apa pun yang diri kita makan
dan minum, sekeren dan sebagus apapun tempat kamu makan dan minum, tetap saja
pada akhirnya akan menjelma air kencing dan tahi.
Sialan, kok ya dari tahi yang ada di jamban itu manusia diberi inspirasi
lagi untuk mengolahnya menjadi kompos, dan biogas. Sungguh ini adalah
perjalanan inspirasi yang tak ada henti. Kamar mandi dan jamban telah
mengajarkan banyak hal dan memberikan tamparan atas ketidaktahuan diri kita
yang jarang disadari.
Dari kamar mandi dan jamban kita
kembali diingatkan. Terkadang diri kita gedebugan
siang-malam-pagi, kesana-kemari untuk mengumpulkan materi, memenuhi segala
keinginan, keegoisan, bahkan juga kedengkian dan keirian. Namun, kita lupa akan
satu hal sederhana yang merupakan puncak dari gedebugan.
Tak lain, hidup itu untuk makan, agar
diri mendapatkan energi untuk melaksanakan tanggung jawab atas setiap embus
napas, setiap langkah yang diri lakukan. Dari segala hal apa pun yang diri
perjuangkan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan materialisme yang terkadang
hanya untuk sebuah ajang pamer bahkan juga ajang penindasan dan keserakahan
ini, ada suatu hal yang pada dasarnya sangat menggembirakan, menenteramkan, dan
bisa dikatakan pula sebagai guru kehidupan.
Yah, guru kehidupan tak harus dari sesuatu yang hidup secara fisik. Semua yang ada di semesta ini pada dasarnya adalah guru kehidupan, hanya saja terkadang diri tak mampu mencerna pelajaran yang disampaikan.
Suatu hal yang menghadirkan ketenteraman, kegembiraan itu merupakan sebuah puncak rasa dari gedebugan dalam menjalani hari-hari. Tak lain adalah menikmati nikmatnya ngising dan segala energi yang hadir pun ada kala itu.
Jika tahi bisa tertawa dan berbicara,
mungkin kita setiap hari ditertawakan sama tahi.
Mungkin tahi pun akan berbisik, "Eh sadar ndak sih elu, gedebugan
tiap hari itu biar bisa merasakan nikmatnya ngising! Elu sekaya, sehebat, dan
sesangar apa pun, kalau nggak bisa ngising akan menderita. Wajahmu akan mengerut
pucat dan penuh kecemasan. Bebelen aja elu udah kuwalahan dan menderita! Elu harusnye mikir, jangan songong!"
Dan dari ngising pula diri kita
diajarkan tentang sebuah keikhlasan. Terkadang diri kita gedebukan
memperjuangkan sesuatu dengan sedemikian gedebugan
tetapi seiring berjalannya waktu sesuatu itu sirna dengan tiba-tiba atau karena
sebuah kesalahan tertentu. Hal utama yang harus dilakukan adalah mengingat saat
diri kita ngising.
Kehilangan mengajarkan bahwa kita ini pada
dasarnya tak memiliki sesuatu. Kita hanya merasa memiliki sesuatu. Bahkan rasa
itu sendiri pun kita tak mampu menciptakan sendiri, sebab ia hadir dan ada di
dalam diri kita karena ada energi maha besar dan dahsyat yang menggerakkannya.
Sialnya, kali ini gundulku memikirkan sudah berapa banyak utang rasaku kepada kamar
mandi dan jamban. Riuh kian bergemuruh.