Udyana pagi ini digelantungi kenang. Embun yang sedari beberapa purnama lalu tak mewujud, kini kembali singgah di ujung daun, beberapa sisanya bertengger di sudut kelopak kamboja. Binar mata di sudut-sudut udyana pun makin sumunar. Ruang yang ditenggeri kegerhanaan seolah kembali dihidupi lentera yang beberapa purnama lalu dijelmakan maya.
Memang, sedari lama maya menjelma di mana-mana. Bukan hanya di udyana, tetapi sampai di sudut kota dan desa. Bahkan, sudut-sudut di dalam sudut itu sendiri pun disenggamainya. Kini, semua sedang diperjalankan untuk hidup di ruang perkosaan. Dalam jiwa, mereka menginstal software-software yang akan mengabrasi dinding-dinding kesadaran. Tak lain, agar tidak merasa diperkosa dan terperkosa oleh jelma maya. Jelma itu sangat mengintan-permata, mata pasti terpikat oleh silaunya. Sejatinya, itu puncak fana!
Sialan!
Maya (di)berjalan(kan) sangat perlahan dan sistematis, sehingga nampak estetis. Maya dijelmakan wujud yang seolah tak kabur padahal itu demi mengubur. Ia seolah tak ada. Namun, sejatinya menyelinap diam-diam untuk memecah dinding keyakinan yang tumbuh, dihidupkan, dan disemayamkan di dalam diri pun jiwa setiap insan. Dinding-dinding ruang kesadaran yang dikabutkan angin kehidupan pun disinggahinya sampai yang singgah tak memiliki persinggahan. Sialan!
Dari keseluruhan pemilik mata, hanya sedikit yang mampu memandang ada pun hadirnya maya itu sendiri, sebab mata-mata pun kini memayakan dirinya sendiri dan dibuat maya oleh maya yang tak disadari sudah tumbuh dari dasar diri.
Eksistensi pun makin kemari makin berani tak menggunakan kontrasepsi, meski semua mengetahui itu tak resmi dan tak mengindahkan nurani. Ia tumbuh subur melalui jaringan-jaringan yang kini dituhankan, disembah-sembah, dan dihidup-hidupi oleh para pemburu materialis, angka-angka, tahta-tahta, sebutan-sebutan kehormatan, sampai pada penyembah keviralan. Jangan tanya perkara nilai, terlebih keadiluhungan, ia kini disemayamkan makin dalam di ruang kesunyian. Media mainstream tak mengeksposnya. Ia diekspos oleh malaikat yang mengendarai malam lalu memberitakannya kepada setiap insan yang hidup dalam persimpuhan di perjalanan dini.
Sedang udara kali ini berbisik akan langkah fana yang kian mengudara di atas kepala setiap manusia. Benar. Kepala yang selalu berperang untuk mengepalai kepala-kepala. Kepala yang berusaha mengatur kepala-kepala yang ada. Kepala yang selalu berusaha memasuki setiap ruang kepala manusia. Tak usah tanya musababnya. Mahkota dan duyung-duyung simpuh kepala di kakinya adalah tujuan yang sangat diimpikan. Pengangkatan kaki di atas kepala yang lain adalah impian banyak orang pada era kebingungan dan kematian yang tidak disadari ada pun hadirnya. Di sisi lain, kegilaan sedang dipentaskan di dalam kepala. Pikirnya, semesta akan bersimpuh di bawah kakinya. Sangat gila, jiwanya mengilusi, lalu menyublim menjadi penyembah kehausan.
Kehidupan makin hari makin sialan. Terkadang, nilai dan keadiluhungan hanya menjadi sebuah impian, bahkan kadang dijadikan bahan candaan. Kesakralannya perlahan disapu angin kecongkakan dan ketaksadaran atas makro dan mikro kosmos.
Dari udara yang kuhirup kali ini. Udyana nampak merindukan kelam. Di pusara udyana, setiap soca yang tenang dan lembut selalu berangan atas kelam yang penuh kelembutan dan keharmonian. Sedang teratai di pinggir batu dekat pancuran itu kini perlahan mulai hilang, bahkan diwaktu tertentu benar-benar dihilangkan. Konon, ujar salah seorang yang diamanahi merawat udyana; kolam itu sudah sangat indah, meneduhkan pikiran, kesegarannya sudah lebih dari cukup. Teratai tidak dibutuhkan lagi. Sebab, ikan-ikan di dalam kolam dan lukisan-lukisan teratai di dinding kolam itu sudah mewakili keteduhan.
“Udyana kelak hanya akan menjadi sebuah nama, namun hakekat adanya perlahan akan tak ada. Sebab, semua lebih memilih yang fana bukan sejatinya. Tak lain, atas dasar keinstanannya,” batinku beberapa purnama lalu, yang kini benar terjadi.
Namun, di sisi lain aku menemukan suatu hal yang begitu menusuk. Sosok itu menjadikanku saban hari merasa harus menyambangi ruang ini. Tak lain, sebagai bekal mengasah kerinduan yang sudah mulai dihantam hilang oleh reriuhan-reriuhan yang mencoba dihadirkan gelombang kehidupan. Seorang kakek yang kulitnya sudah dimakan oksigen dengan blangkon yang selalu menghiasi mustakanya, setiap jumat membawa benih teratai. Bersama getar jemarinya ia menaruh dengan sepenuh hati di dekat batu kali yang sudah beranjak disetubuhi lumut. Ia disemayamkan di sana, katanya kala kutanya waktu itu “Seperti apapun caranya, kita harus belajar kemurnian. Teratai bukan sebatas penghias kolam. Ia adalah guru kehidupan untuk menjalin sebuah harmoni, keselarasan atas mikro dan makro kosmos ini,” tuturnya sembari menikmati sepoi angin di bawah rindang kamboja.
Kala itu, aku terdiam. Sedikit pun tak ada kata yang berusaha keluar dari bibirku. Aku hanya bisa mengeja setiap gurat diwajahnya dan tatap yang begitu lekat memandangi setiap lekuk dan sudut udyana. Aura di wajahnya menampakkan sebuah kerinduan, kedamaian, dan bahagia. Kakek sangat menikmati gemericik air yang jatuh di samping teratainya.
“Kolam ini, mengingatkanku pada Dewi Saraswati, Kahyangan, Batara Guru, Semar, Togog. Cingkarabala dan Balaupata di samping kolam itu membuka ingatan yang membuatku ingin selalu menyambangi ruang ini. Eyang dan bapakku dulu selalu mengisahkan pewayangan. Ruang ini bagiku bukan hanya sebatas taman. Namun, nama taman ini, udyana, mengingatkanku akan kelam yang begitu indah. Jiwaku selalu dibawa bernostalgia pada masa lalu tiap melangkah di area ini.” Air mata kakek itu pun membasahi pipinya.
Air mata itu sangat bening, seperti ketulusannya dalam menyemai dan merawat nilai-nilai.
Kakek yang membuka lebih jauh mata dan pencarianku itu kini tak bisa kutanyai lagi. Ia berpulang seminggu usai ucapan itu. Tremor kakinya tidak terkontrol, ia terjatuh masuk ke dalam kolam, kepalanya terbentur batu lancip yang baru sebulan kemaren dijadikan tambahan hiasan kolam yang konon buah ide dari pengurus taman itu.
“Begitu mudahnya jalan pulang. Beruntung si kakek, ia pasti berpulang dengan senyum. Sebab ia berpulang diantarkan ruang yang selalu dihidupinya dan dijaga kemurniannya,” batinku sembari memandangi kolam di udyana ini, sebelum kulangkahkan kaki pada ingatan yang jauh lebih dalam pun pada pertanyaan akankah aku bisa hidup dan menghidupi nilai?