Harapan Pada Donat dan Mimpi Berwarna Magenta |
Seperti yang sudah banyak orang ketahui, hari akhir identik dengan kengerian, bencana, dan juga berbagai macam istilah untuk hal-hal menakutkan yang tidak bisa ditangani manusia. Namun perlu juga diingat, bahwa sebuah akhir pasti membawa kita menuju sebuah awal yang benar-benar baru. Banyak sumber dari kitab suci yang menyebutkan, bahwa hari akhir nantinya akan membawa manusia menuju alam baru yang kekal. Ada juga sumber lainnya seperti kiamat pada film The Avengers: Endgame yang menampilkan ekosistem dunia lebih baik setelah setengah populasi dunia dimusnahkan oleh Thanos.
Ada banyak lagi versi kiamat besar maupun kecil dari berbagai macam sumber yang bisa kita temukan di buku-buku, film atau apapun itu. Yang jelas, kiamat itu ada. Hari akhir itu ada. Ini saya bukannya ndalil atau memberi khotbah lho ya. Saya hanya mengutarakan pendapat dengan dasar othak-athik gathuk dari apa yang saya lihat.
Jikalau memang apa yang saya tuliskan ini salah, saya sangat berterima kasih sekali jika ada yang memberi kritik atau mungkin tulisan yang mengoreksi tulisan ini. Terlebih jika kritik atau tulisan itu datang dari akademisi. Supaya terang mana yang awam dan mana yang pakar, supaya jelas mana yang orang biasa dan mana yang intelektual, supaya terlihat mana yang berkiblat pada google dan mana yang membaca literatur koherensif juga komprehensif mengenai sebuah disiplin ilmu.
Bukannya berniat nantang lho. Saya ini cuma non akademisi, praktisi prematur, dan juga remaja dengan hormon yang keracunan puisi. Jadi, mohon maklum jika terlalu banyak atraksi.
Oke. Mari kembali ke materi. Hehehe.
Kata “hari akhir” bagi teater ini saya gunakan lantaran saya sedikit banyak melihat geliat kelompok teater khususnya yang masih amatir dan belum mapan. Saya melihat bagaimana tingginya biaya produksi tidak seimbang dengan pendapatan. Bagaimana proses panjang yang berbulan-bulan berakhir dalam satu malam saja. Tentunya masih banyak lagi permasalahan lainnya. Singkatnya, tanpa terjadinya pandemi para penggiat seni teater terutama yang masih amatir dan belum mapan ini hidupnya sudah lumayan megap-megap. Apalagi dengan terjadinya pandemi ini?
Banyaknya program-program lomba atau kompetisi pertunjukan virtual yang diadaakan pemerintah atau instansi-instansi pendidikan atau kebudayaan memang sedikit banyak memantik api para seniman teater amatir yang mungkin sudah hampir semaput. Namun, menghadapi pertunjukan virtual tersebut tentu saja bukanlah hal yang mudah. Butuh tenaga lebih untuk mencari formula yang tepat guna membuat pertunjukan teater virtual.
Pasalnya, disiplin teater memiliki disiplin yang sedikit lain dari disiplin film. Pembahasan tersebut juga tengah ramai di antara seniman dan akademisi teater hari ini. Remy Silado pernah berkata bahwa film merupakan bentuk teater yang paling purna.
Saya tidak membantah pernyataan beliau sedikit pun. Tetapi saya rasa, adanya istilah teater virtual sekarang ini harusnya tetap menjadikan film dan teater memiliki disiplin yang berbeda. Bagaimana formulanya, saya tidak tahu. Sudah jelas bahwa perubahan pola pikir dan pendekatan dalam membuat teater virtual ini mutlak butuh perubahan dari pola pikir dan pendekatan teater panggung.
Estetika teater baru atau – kalau meminjam istilah yang sering digunakan pemerintah – estetika teater normal baru ini, saya harap bisa menjadi sesuatu yang baru tanpa menghancurkan apa yang sudah dibangun para pendahulu dalam merumuskan teater. Namun, sekali lagi, adanya pandemi ini harus membuat semua orang mengerti bahwa perubahan atau rumusan-rumusan mengenai teater model normal baru ini niscaya adalah sebuah perubahan atau rumusan yang pastinya radikal. Jika hal tersebut ditolak, niscaya hari akhir bagi teater akan benar-benar terjadi.
Meskipun jika nantinya pandemi ini selesai akan ada banyak pertunjukan teater luring kembali, tetapi munculnya teater virtual sebagai salah satu babak estetika dalam teater tidak bisa dikesampingkan. Terlebih jika melihat sebuah pertunjukan teater dapat disaksikan ribuan bahkan puluhan ribu orang secara daring. Sedang pada pertunjukan luring, seringkali kapasitas penonton sangat terbatas pada luas gedung pertunjukan.
Apa yang membuat seni masih merupakan sebuah disiplin ilmu yang ditekuni beberapa orang ketika sekarang ini banyak sekali pakar-pakar baru (yang merasa begitu genial) di media sosial yang membicarakan hampir segala hal? Apakah karena seni adalah ruang basah bagi kesadaran yang selama ini kering? Atau sebuah kamar otonom bagi jiwa-jiwa yang ingin sendiri? Atau sebuah taman bermain bagi jiwa yang bosan?
Mungkin akan ada banyak sekali jawaban. Sebab, seperti kita tahu, di Indonesia sendiri pernah ada tiga kubu besar yang memiliki pendapat atau mungkin haluan mereka sendiri tentang seni. Sebut saja tiga kubu itu adalah MANIKEBU, LEKRA, dan LESBUMI.
Meskipun yang satu sudah kalah lantaran perebutan panggung politik kekuasaan, tetapi kehadiran ketiga kubu tersebut sudah cukup sebagai bukti bahwa seni memiliki beragam haluan. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Selaras dengan kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang, maka semua seniman bebas untuk berekspresi. Begitu juga semua penonton - mereka bebas untuk bertepuk tangan atau untuk mencibir.
Sepertinya mereka ingin membicarakan hidup yang baik setelah pandemi ini selesai. Atau mungkin juga, mereka sudah sumpek terhadap hidup dalam seni yang begitu-begitu saja. Penuh asam lambung dan juga kecelakaan-kecelakaan. Terisolir dari cara berpikir dan hidup masyarakat umum.
Namun, untuk penggunaan donat sendiri sebagai penanda saya kurang bisa begitu menangkap tujuannya. Mungkin saja hanya sebatas sebagai lucu-lucuan saja. Atau mungkin gairah seks. Atau mungkin sebuah kebahagiaan.
Jujur saja, saya kurang bisa menangkap apa yang coba dibicarakan dalam pertunjukan ini. Mungkin saja perangkat saya untuk membacanya perlu di-upgrade. Mengingat saya hanya lulusan SMA dan pertunjukan ini adalah karya para mahasiswa dan sarjana.
Saya hanya dapat menangkap bahwa sang magenta terisolir dan ingin kebahagiaan. Khas hidup yang susah kemudian senang. Melewati penderitaan yang di pertunjukan ini diganti dengan sebuah proses isolasi. Tidak ada yang istimewa selain kalimat-kalimat yang atraktif. Sangat aristotelian sekali jika melihat plot pada pertunjukan ini yang tidak linear. Sehingga bisa dibilang, usaha untuk membuat plot twist dalam pertunjukan ini adalah menyusahkan diri sendiri.
Hal yang membuat saya salut adalah sinematografi, musik, dan juga visual effect yang manja. Selain itu, saya tidak tahu lagi. Sepertinya saya harus meng-upgrade perangkat saya. Seperti magenta yang menerima vaksin.
Editor: Pemulung Rasa