Lima tahun yang lalu, lima menit lewat dari jam delapan malam, ketika orang-orang telah berdiam di dalam rumahnya masing-masing, aku bertamu ke rumah Sardi. “Terimalah. Semoga dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan Bapak sekeluarga,” kataku sembari menyodorkan sebuah amplop berisi uang, setelah kami kembali membincangkan perihal keadaan perekonomiannya yang makin memprihatinkan.
Ia lalu menyambut pemberianku dengan sikap segan. “Terima kasih banyak, Pak,” ucapnya, lantas melayangkan senyum simpul sepintas. “Entah bagaimana aku harus membalas kebaikan Bapak yang kesekian kalinya.”
Aku pun tergelak pendek. “Tak usah pikirkan soal itu, Pak. Memang sudah seharusnya aku membantu Bapak. Apalagi, Bapak adalah tetanggaku.”
Ia lantas menghela dan mengembuskan napas panjang. Ekspresinya pun menampakan rasa haru. “Sekali lagi, terima kasih banyak, Pak," tuturnya.
Pada masa itu, kondisi perekonomiannya memang sangat buruk. Ia hidup di ambang kemiskinan. Ia hanya bekerja sebagai kuli panggul di pelabuhan setelah usaha pertokoannya bangkrut, sedang ia mesti menghidupi istri dan tiga orang anaknya. Pada saat yang sama, aku malah makin sejahtera. Karirku di perusahaan penjualan mobil bekas terus menanjak. Gajiku pun terhitung lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan empat orang anakku.
Atas kesulitan hidupnya, aku merasa patut membantunya. Sebagai tetangga bersampingan rumah, aku merasa punya tangung jawab moral yang lebih untuk meringankan bebannya. Karena itu, aku merasa tak keberatan untuk menyedekahinya, berkali-kali, tanpa pamrih. Aku bahkan selalu menyantuninya tanpa sepengetahuan orang-orang, sebab aku ikhlas dan tak ingin merendahkan martabatnya.
Aku sengaja merahasiakan pemberianku dari pengetahuan khalayak, sebab aku beranggapan bahwa tidak semestinya orang memberi sembari merendahkan harga diri orang yang diberi. Aku memahami bahwa memberi yang sesungguhnya memberi adalah memberi dengan ketulusan, tanpa embel-embel apa pun. Terlebih, roda kehidupan terus berputar dan hanya menunggu waktu hingga keadaan nasib berbalik, termasuk keadaan nasibku dan nasib Sardi. Jikalau begitu, aku tentu ingin agar ia membantuku dengan tetap menjaga harga diriku.
Dan benar saja. Kini, perusahaan tempatku bekerja mengalami kebangkrutan, dan aku kehilangan penghidupan yang menjamin. Aku pun terpaksa bekerja menjadi tukang las di sebuah bengkel, agar tabunganku tidak cepat terkuras untuk memenuhi kebutuhan harian hidupku sekeluarga. Aku mengerjakannya dengan penuh kesabaran demi upah yang jauh lebih kecil dari gajiku sebelumnya, asalkan aku tak berpangku tangan dan mengemis bantuan orang lain.
Sebaliknya, Sardi tampak makin makmur saja. Bahkan ia pantas disebut kaya raya. Itu karena ia telah meninggalkan pekerjaan lamanya dengan penghasilan yang tidak memadai, lantas beralih menjadi seorang selebritas dengan pendapatan yang tidak terbatas. Itu terjadi atas prakarsa anak sulungnya yang telah gadis, yang membuat dan membangun akun di segala macam lini media sosial, kemudian merekam dan membagikan aktivitas kesehariannya sekeluarga di bilik-bilik dunia maya tersebut.
Atas kelihaian mereka membuat konten keluarga menjadi tontonan yang menarik, mereka pun makin tenar. Seiring itu, penghasilan mereka dari periklanan platform media sosial, terus meningkat pula. Tak pelak, mereka menjadi hartawan dengan penghasilan yang terus mengalir. Paling tidak, itu terlihat dari bangunan rumah mereka yang telah diperbarui, hingga tampak makin mewah dengan halaman depan yang diisi dua mobil baru.
Lebih dari itu. Kebahagiaan mereka tidak melulu soal materi. Dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka acap kali pergi ke tempat-tempat wisata untuk berlibur. Ajaibnya, tamasya mereka itu tidaklah untuk menghabiskan uang, tetapi untuk menambah pundi-pundi penghasilan dengan membuat konten cerita perjalanan yang kemudian mereka unggah di akun media sosialnya.
Akhirnya, mereka pun tersohor sebagai youtuber yang sukses. Kadang pula mereka disebut selebgram, selebtwit, tiktoker, dan lain-lain. Atas semua gelar itu, mereka terus meraup keuntungan yang luar biasa, dan akan terus bertambah seiring dengan kegemaran mereka mempertontonkan perihal remeh-temeh tentang kehidupan mereka dan selama orang-orang tertarik untuk menyaksikannya.
Atas keberhasilan itu, keluarga Sardi tak ubahnya seperti keluarga kerajaan. Ia adalah raja, istrinya adalah ratu, sedangkan anak-anaknya adalah putri dan pangeran. Karena itu, berdasarkan cerita anak sulungku, putri sulung Sardi tampak menikmati statusnya sebagai mahasiswi, sebab ia menjadi idola di kampusnya. Para dosen dan mahasiswa pun tampak senang berkawan dengannya, sebab ia adalah sosok yang ramah dan royal.
Sebaliknya, anak sulungku yang merupakan mahasiswi fakultas kedokteraan di kampus yang sama dengan putri sulung Sardi, malah terpaksa berhenti kuliah di semester IV karena persoalan biaya. Ia memilih mengalah demi adik-adiknya yang lain, sebab ia sadar bahwa kuliahnya masih akan menghabiskan banyak biaya. Ia memilih berkorban demi pendidikan adik-adiknya, meski dirinya terhitung sebagai mahasiswi yang unggul.
Karena penghasilanku yang kecil, aku pun pasrah menerima bahwa putri sulungku putus kuliah. Aku tentu berharap agar ia bisa melanjutkan pendidikannya dan menjadi seorang dokter, sebagaimana tekadku ketika ia mulai berkuliah dan aku masih bekerja di perusahaan. Tetapi keadaan perekonomianku yang pelik, membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
Di tengah kesulitan, sesekali, aku terpikir untuk meminta tolong kepada Sardi dengan meminjam uangnya untuk biaya kuliah anakku. Namun aku selalu mengurungkan niat, sebab biaya yang diperlukan masih sangat banyak, dan aku takut tak bisa mengembalikan utang. Sedang sebaliknya, Sardi sekeluarga sepertinya tak akan terpikir untuk membantu kehidupanku sekeluarga. Itu karena mereka kemungkinan besar tidak tahu perihal kehidupan kami, apalagi setelah mereka lebih sering tinggal di rumah baru mereka di tengah kota.
Tetapi rahasia perihal keadaanku sekeluarga, akhirnya terkuak juga. Itu berawal dari pemberitaan pers mahasiswa di kampus anak sulungku, yang mewartakan bahwa anakku yang terkenal berprestasi itu terpaksa putus kuliah karena persoalan biaya. Informasi media mahasiswa tersebut kemudian menyebar di media sosial, sebagaimana yang tampak di beranda Facebook.
Pemberitaan-pemberitaan itu, tentu membuatku kalut. Di satu sisi, aku merasa punya harapan bahwa orang-orang akan bersimpati dan membantuku menyelesaikan masalah perekonomianku, terutama membantu anak sulungku menyelesaikan kuliahnya. Tetapi pada sisi lain, aku merasa rendah diri, seolah-olah martabatku sebagai seorang ayah telah tercoreng. Pasalnya, banyak orang akhirnya tahu bahwa aku yang dahulu terbilang makmur, bahkan sering membantu orang lain, kini malah menjadi fakir dan patut untuk disantuni.
Akhirnya, di tengah kemelut perasaanku, tiba-tiba ponselku berdering. Di layar, aku pun melihat nama Sardi tengah memanggil. Seketika pula, aku menduga bahwa ia telah mengetahui perihal keadaanku sekeluarga.
Setelah memikir-mikirkan respons yang tepat, aku pun menjawab panggilannnya dengan perasaan gamang.
“Apa benar kabar tentang keadaan Bapak sekeluarga, seperti yang tampak di media sosial?” tanya Sardi kemudian.
“Benar, Pak. Semua itu benar,” kataku, pasrah, bak maling yang terpaksa mengaku setelah tertangkap basah.
Ia pun melenguh. “Kenapa tidak bilang-bilang kepadaku, Pak?” sidiknya, dengan nada yang terdengar menyayangkan sikapku yang telah merahasiakan keadaanku darinya.
Seketika, aku jadi bingung meramu kilahan. Tetapi akhirnya, aku menjawab saja secara diplomatis, “Tidak apa-apa, Pak. Aku merasa kalau masalahku ini bukanlah masalah besar yang patut dikabarkan kepada orang-orang, termasuk kepada Bapak.”
“Bukan masalah besar bagaimana? Anak Bapak putus kuliah sampai diberitakan di media. Itu jelas masalah yang besar,” sergahnya, lantas mengembuskan napas yang keras. “Kita ini bertetangga, Pak. Bersampingan rumah. Aku merasa punya tangung jawab moral untuk menolong Bapak. Aku tentu malu kalau orang-orang tahu bahwa aku tidak turun tangan membantu Bapak.”
Aku sontak menelan ludah di tenggorokanku. Aku seketika menjadi kagok. “Maaf kalau Bapak merasa tersinggung karena itu.”
Ia pun mendengkus dan kembali mengungkapkan perhatiannya, “Aku tak akan lupa bahwa Bapak pernah membantuku di masa-masa sulit dahulu. Karena itu, di tengah keadaan Bapak yang seperti ini, sudah waktunya aku membalas kebaikan Bapak itu.”
Aku lantas tertawa pendek. “Tetapi soal yang lalu, aku ikhlas, Pak. Bapak jangan merasa terbebani untuk membalasku.”
Ia kembali mendengkus. “Tetapi untuk kali ini, aku pun ikhlas untuk membantu, Bapak,” tuturnya, dengan nada penuh penekanan. “Pokoknya, besok, aku dan timku akan ke rumah Bapak. Aku akan mewawancarai dan merekam langsung keadaan hidup Bapak sekeluarga. Dan untuk itu, aku akan memberikan honor kepada Bapak sebanyak lima belas juta rupiah. Bagaimana, Bapak bersedia, kan?”
Aku sontak terkejut dan kelimpungan untuk menjawab.
Editor: Pemulung Rasa