Lomba Menulis Puisi
Di laman sosial media
Pamflet hijau dengan gambar piala
dan voucher penerbitan, cukup membikin iman tergoda.
Sedang, seorang pria gerakkan telunjuk ke atas ke bawah
Ke tempat yang dapat menyebutnya seorang penyair.
Pamflet hijau dengan gambar piala
dan voucher penerbitan, cukup membikin iman tergoda.
Sedang, seorang pria gerakkan telunjuk ke atas ke bawah
Ke tempat yang dapat menyebutnya seorang penyair.
Dalam pamflet hijau bertema kasmaran
Pria itu temukan jati diri puisi (gratis)
Bonus dibukukan bagi cinta yang menang.
Asal:
Bagikan info, hastag 10 teman atau
Kekasih yang menolak hatimu minggu lalu.
Bonus dibukukan bagi cinta yang menang.
Asal:
Bagikan info, hastag 10 teman atau
Kekasih yang menolak hatimu minggu lalu.
Sepenuh pria itu mencintai dateline
Sederhana pula kekasihnya jadi bahan
Luka-luka ia buat sepuisi mungkin
Agar toga kepenyairan lekas diiakan
Daripada anyir dalam catatan kenangan.
Sederhana pula kekasihnya jadi bahan
Luka-luka ia buat sepuisi mungkin
Agar toga kepenyairan lekas diiakan
Daripada anyir dalam catatan kenangan.
Pada hari ke 30, ribuan penyair menanti nasib
Tak lepas pria itu, gemetar dadanya
Dengan basmalah ia buka situs lombamenulispuisidotcom
Tiada dirinya di daftar juara, 20 besar, atau 100 terpilih
Hilang angan untuk jadi penyair.
Belum satu jam, di ujung kegagalan
Notifikasi memanggil para pengikutnya:
Si A mengirim sesuatu di laman lomba puisi.
Pamflet kali ini biru dengan syarat yang sama
Ditambah e-sertifikat bagi semua peserta
“saatnya aku jadi penyair” kata pria itu.
14 September 2021
Penyair 4G
Zaman telah meniti manusia
Dimana teks-teks kehilangan buku
Dan tiada rindu yang mesti dipertanggungjawabkan
Sebab kota, meminta penyair
Untuk berhenti ngopi serta diskusi masalah puisi.
Di masa yang penuh penat, penyair tak perlu susah
Cari buku atau berhenti di simpang jalan
Meratap nyaring keheningan:
Diksi-diksi telah berserakan
Meski tubuh terlentang di atas ranjang.
Menjadi penyair adalah pekerjaan mudah
“Tulis lukamu sebanyak mungkin
Lalu rampai menjadi buku, beri cover seksi
Adakan seminar online, dan lakukan
Berulang-ulang tiap bulan”
Jika seseorang cemooh puisi itu
Silent notifikasi atau blok saja.
Asal jangan sakit hati, ketika puisi itu
Dibuang oleh Mata Puisi.
15 September 2021
Ijab Puisi
Tangan masih gemetar menulis sajak
Perihal ingar-bingar kabar yang gesit
Merombak usia dan waktu.
Sedang, dadaku telah keroncongan
Setelah satu hari tak kutangkap engkau
Di tengah guyonan maya
Di bait-bait puisi paling cinta.
Kucari kata-kata majas di rimbun sunyi
Kutulis namamu, sambil kutatap ranjang
Yang kelak timbul alun gendang.
Jemarimu yang lucu
Melucuti tiap-tiap lipatan puisi
Kausentuh puting susuku, kaugigit
Kamar meraung sepi makin nyaring.
Di balik kaku tangan, kuhantar kata-kata:
Kuterima nikahnya kasih perih
Tunai dibayar puisi.
07 Oktober 2021
Penyair yang Mabuk Puisi
Saban hari kota makin sulit dibaca
Jalanan bising, berpusing di kepala.
Kuceburkan diri pada sebotol anggur
Agar keindahan imajinasi juga berpolusi
Seperti pabrik cukong, yang akhir-akhir ini
Membuat kita tak bernafas lega layaknya puisi.
Puisi adalah ketaksadaranku mencintaimu
Ketika pertama kau menyapa mataku
Dengan senyum yang mengembun di dada ini,
Kutemukan rumah megah.
Meski berkali-kali membikinku lapang diri
Diasingkan banyak mata
Sebab puisiku dituduh maling ayam.
Kutulis puisi, kekasih
Tentang maling dan sepiring bebek peking
Yang gurih di dalam gedung itu.
Gara-gara kota ini mabuk,
Aku menjadi penyair dan mencintaimu.
24 Mei 2021
Semilir Angan
Embusan angin mengembun di jendela kamar
Sedang tanganku gemetar menerima semilir napasmu
Meresap perlahan pada kening lalu mata
Jatuh, tumbuh kata-kata.
Aku khayalkan, bagaimana rambutmu adalah laut
Bibirmu jadi pantai, penuh siwalan
Dan aku menulis puisi di atas dadamu yang keras
Merasakan debar waktu.
Berembuslah, napasmu
Kuterima lega sejuk puisi
Yang berembun saban hari.
17 Oktober 2021
Ditulis oleh Gusti Fahriansyah. Penulis puisi dan cerpen asal Sumenep, Madura. Bergiat di Kelas Puisi Bekasi, Komunitas Puisi Kampus, LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep. Karyanya termaktub di beberapa antologi bersama, juga dimuat di media, seperti Radar Madura, Radar Mojokerto, Cakra Bangsa, Gadanama, Nolesa, Kawaca, Takanta, Mbludus, Kami Anak Pantai, Bfox, Lampung media, Suku Sastra, Ide-Ide, Apajake, Bicara News, Medan pos, Pojok Sastra, dll. Bisa di sapa di instagram Gusti Fahriansyah.
Editor: Pemulung Rasa