Peron adalah simbol penantian menuju tujuan utama dari suatu perjalanan. Keempat puisi yang berjudul Menedung Berkabung, Yang Tak Terbahasakan, Diam Menyapa, dan Sewangi Nadimu Rindu merupakan suatu upaya pemaknaan peron yang dipersembahkan untuk buah hati dari seorang dosen UMNU Kebumen yang terlalu cepat menepi dari bumi yang fana. Ia kini menunggu kedua orangtua terkasihnya di peron waktu, untuk menyatu pada sang pemilik abadi, Tuhan.
Semoga ketiga puisi bertajuk Peron ini bisa menjadi pemicu dan pemacu anak-anak sanggar sastra UMNU Kebumen untuk lebih produktif berkreatifitas dalam dunia sastra.
Salam Sastra
Guru yang tak pernah mengurui
Guru yang tak pernah mengurui
Mendung Berkabung
Barang kali mendung sore ini tanda kabung
Langit turut murung
Ia yang kau tunggu
singgah sekejap mata
Langit turut murung
Ia yang kau tunggu
singgah sekejap mata
Tuhan sekali lagi menguji
Sebelum ia mampu mengucap kata papa
sebelum sempat mendekap manja ibunya
Sebelum ia mampu mengucap kata papa
sebelum sempat mendekap manja ibunya
Gerbong waktu beraroma kasturi buru-buru membawa pulang kembali ke peron penantian ruang antara fana dan kekal
menunggumu dengan karangan kembang
menyatukan pada yang satu
Abadi
Tanpa rindu dan luka lara
Muchlas Abror
Kebumen, 6 Maret 2022
Yang Tak Terbahasakan
Hilangmu,Aku kelimpungan
Pada peron itu, terduduk lunglai
Seakan tak bertulang ambruk menghantam lantai
Tanpa ada aba-aba
Tanpa isyarat perpisahan
Ragamu dingin, ruhmu hilang
Bersama hembus napas pelan dan hilang
Pagi berkabut di musim penghujan
Waktu memaksa merelakanmu
Melepaskan yang semalam penuhku jaga
yang tak akan jumpa di musim berikutnya
Waktu memaksa merelakanmu
Melepaskan yang semalam penuhku jaga
yang tak akan jumpa di musim berikutnya
Biarkan aku berbisik pada inderamu,
"Hatiku terpaku mati padamu, malaikat kecilku."
Pada peron berkabut itu
Di persimpangan jalan melalui gerbong tak berpintu
Ragamu lenyap tertimbun tanah
Dan yang ada
Hanyalah perihal penanda bahwa kau pernah ada
Kini bersemayam di sana
"Hatiku terpaku mati padamu, malaikat kecilku."
Pada peron berkabut itu
Di persimpangan jalan melalui gerbong tak berpintu
Ragamu lenyap tertimbun tanah
Dan yang ada
Hanyalah perihal penanda bahwa kau pernah ada
Kini bersemayam di sana
Ani Retnowati
Kebumen, 05 Maret 2022
Diam Menyapa
Nanar hati bersenandung isak
lara raut muka berbicara
sekitar memandang penuh harap
buah hati yg dinanti tak kunjung menghampiri
lara raut muka berbicara
sekitar memandang penuh harap
buah hati yg dinanti tak kunjung menghampiri
Rapal doa terijabah
sebentar lagi dalam timangan
sedekap rindu ingin tangisnya
mengisi hati dan hari-hari
Kuasa lebih menyanyangi
di sepertiga malam
waktu terhenti
tangis menderu
lunglai merengkuh tubuh
malaikat kecil terjemput
menanti di peron cahaya memanggil membawanya kembali ke yang empunya
ikhlas hati beserta pinta
harap berjumpa nanti di surga
di sepertiga malam
waktu terhenti
tangis menderu
lunglai merengkuh tubuh
malaikat kecil terjemput
menanti di peron cahaya memanggil membawanya kembali ke yang empunya
ikhlas hati beserta pinta
harap berjumpa nanti di surga
Diena Fitria Safitri
Kebumen, 7 Maret 2022
Sewangi Nadimu, Rindu
Meraup waktu dengan sunyiHaturkan harapan teruntuk sebuah penantian
Pada masa yang tak lepas oleh sabar
Ditampar oleh sadar
Takdir dari kerinduan panjang
Berujung pada ketabahan
Di peron ini kami mengantarmu, kembali pada sang pemilik
dengan lambaian do'a dan senyum
Bertabur bunga air mata
ikhlas melepaskanmu
dengan lambaian do'a dan senyum
Bertabur bunga air mata
ikhlas melepaskanmu
Pulanglah dahulu, kembali ke pemilik tunggu
jemput kami di ujung stasiun waktu
Khadijah Aini A.
jemput kami di ujung stasiun waktu
Khadijah Aini A.
Kebumen, 7 Maret 2022
Editor: Pemulung Rasa