KAFE
Sebias warna temaram tua memahat ruangan.Pertemuan menjadi jalan manusia menyangkal sunyi. Gelak tawa tersaji sebagai hidangan pembuka. Alunan musik menjadi setelan jas berukuran bahagia. Para pengunjung bertukar kisah candu dunia. Wajah(m)u tersandra di kusam dinding. Siapa yang masih mengenali penyamaranmu di sini?
…. .
Senja mengumpulkan baris-baris hikayat sepanjang hari. Tapak lolongan hewan penuh luka tergurat di punggung senja. Gemetar rerintih orang pinggiran terlukis di pelupuk senja. Doa-doa pejalan sunyi menjadi aroma wangi di ujung pintu kafe. Wajah(m)u terlukis paripurna di balik dinding. Berapa yang masih mengenali penjelamaan(m)u?
Di pangkal senja aku berenang ke palung dasar kopi:
Mencari warna wajah(m)u yang tak pudar dengan penyangkalan.
(Surakarta, 2021).
MEMAHAMI KEPERGIAN
Semenjak engkau pergi dalam diamAku masih sibuk menyusun periuk kenangan
Perlahan kubingkai prosa dan sanjak kisah kita
Lalu kubaca sebagai doa kecil dalam diam senja
… .
Semenjak engkau pergi dalam diam
Aku masih menyimpan hasrat bersama guguran daun tua:
Semoga kelak setapak jalan mempertemukan kita
Setelah ratusan hari aku bertahan dalam sajak ini…
(Semarang, 2021)
RUANG SAMADI
Engkau bertapak di puncak cahayaAku bersimpuh sebagai pengembara buta
Tolong gapailah kedua tangan renta ini
Sehingga aku pahami jalan lurus menuju garis akhir.
(Semarang, 2021)
Ditulis oleh Thomas ELisa, lahir di kota Surakarta. Alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Saat ini penulis mengajar di SMA Kolese Loyola Semarang. Buku yang telah diterbitkan yakni novel fiksi anak Bangunnya Peri Merah (2017), Hadiah Tak Terduga (2020). Beberapa karya lainnya termuat di media Poros Pemalang, Tegas, Opini, Marewai, Suku Sastra, dan Ruang Jaga.
Editor: Pemulung Rasa