Kartini adalah
Wanita bukan Perempuan. Firestone sebagai seorang aktivis feminis radikal
(Kanada-Amerika) menganggap kepemilikan rahim sebagai kelemahan bagi perempuan.
Kata perempuan secara etimologi berasal dari bahasa Sanskerta empu dan wan. Perempuan memiliki makna pemilik alat reproduksi atau rahim
atau sama dengan pemilik alat produksi.
Jika ditinjau
dari perspektif Marxisme, pemilik alat produksi memanglah menempati kelas yang
lebih tinggi. Kaum borjuis
dengan segala upaya memanipulasi kepentingannya melalui suprastruktur. Namun,
dalam pandangan ini sangatlah berbeda karena kapitalis yang sesungguhnya.
Dalam kasus ini
adalah patriarki yang mengontrol sekaligus menstigmakan perempuan sebagai
seseorang yang berada pada ranah privat, sebagai sosok ibu, terkungkung dalam
ruangan sempit yaitu rumah yang membatasi kebebasannya untuk mengaktualisasikan
diri sebagai subjek yang bebas selayaknya laki-laki. Dengan demikian, Firestone
menganggap kepemilikan rahim sebagai suatu kelemahan karena patriarki dengan begitu lantas memosisikan perempuan sebagai kanca wingking, masak, macak, dan manak.
Sayangnya hal
tersebut tidak disadari oleh kaum perempuan karena diksi perempuan itu sendiri
diwacanakan sebagai yang halus dan lebih terhormat dibandingkan diksi wanita
yang dikonotasikan negatif, liar, tidak baik, dan kasar. Secara etimologi kata
wanita berasal dari bahasa Sanskerta yaitu vanita yang bermakna binatang buas atau
tidak terjinakkan.
Kata Wanita
mengalami proses labialisasi dari labiodental ke labial dari huruf v "vanita" ke w "wanita".
Meski memiliki arti binatang buas yang seringkali dipersepsikan negatif, tetapi
di sisi lain kata wanita sendiri mengandung simbol kebebasan, tidak
tertundukan, tidak terjinakkan oleh laki-laki. Dengan demikian diksi wanita lebih
mewakili perjuangan kesetaraan gender ketimbang perempuan. Sekali lagi ini dari
perspektif feminis radikal dan yang pasti berbeda dari aliran feminis yang
lain.
Terlepas dari
semua itu, perempuan memang terhegemoni oleh patriarki sehingga mereka menganggap
hal tersebut sebagai kewajaran bahkan sebagai sanjungan. Contoh nyata bagaimana
hegemoni patriarki tersebut bekerja yakni terlihat dalam sambutan-sambutan yang
dilakukan oleh perempuan. Mereka selalu mengedepankan diksi Bapak yang kemudian
dilanjutkan Ibu.
Secara tidak
langsung hal itu sebagai persetujuan mereka bahwa dirinya sebagai secon sex, makhluk kedua atau liyan.
Padahal antara laki-laki dan wanita seharusnya setara dalam segala hal. Dengan
begitu wanita dalam hal ini perlu mengedepankan diksi Ibu sebagai representasi dirinya
ketimbang mendahulukan diksi Bapak. Hal itu sebagai bentuk perjuangannya
melawani hegemoni patriarki.
Jauh sebelum itu, kesetaraan
gender sudah dicontohkan oleh
islam yang mengedepankan sosok ibu ibu ibu baru penyebutan sosok ayah. Hal
tersebut tak lain sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap sosok
hawa.
Dalam peringatan
hari Kartini kali ini wanita harus mampu mengambil momentum untuk berani
menyebut dirinya sebagai “wanita” layaknya Kartini dan tokoh pejuang wanita di
Indonesia.
Lebih dari itu
dalam setiap sambutan-sambutan dalam acara apa pun, subjek
wanita harus berani mengedepankan diksi Ibu yang dilanjutkan Bapak. Meski hal
itu terkesan tidak umum, namun kita harus sadar bahwa yang umum belum tentu
benar, mengingat selalu ada permainan wacana di belakangnya. Jadi yang perlu
dilakukan oleh wanita yakni dengan mengucapkan Ibu-ibu dan Bapak-bapak atau Ibu
dan Bapak yang kami hormati, bukan sebaliknya. Meski kalimat tersebut singkat,
akan tetapi dapat merepresentasikan perjuangan wanita dalam mewujudkan
kesetaraan gender.
Menyadari
dominasi dan hegemoni patriarki merupakan suatu keharusan bagi wanita,
mengingat peran wanita saat ini tidak bisa dinomerduakan. Mereka bukan makhluk
liyan, melainkan sederajat bahkan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
laki-laki.
Editor: Pemulung Rasa