I
Kehidupanku makin menjerit
Tahtamu penuh ambisi dipertahankan
II
Aku remaja baru
lulus dua tahun dari bangku SMA. Aku tinggal di salah satu kabupaten provinsi
Jawa Tengah. Kala itu pikiranku masih idealis dan lugu,
aku ingin ada perubahan di negeri ini, sudah muak dengan pola rezim orde lama
yang rakus kekuasaan, praktik korupsi semakin menggila, memperkaya pejabatnya.
Menjelang pilkada
yang akan dilaksakana pada 9 Juli 2014, aku menimang-nimang, siapa yang akan
aku pilih. Aku bukan siapa-siapa, suara satu anak yang masih bau ingus dari
keluarga miskin pastilah dipandang sebelah mata, tapi tak masalah bagiku,
niatku tulus.
Aku meyakini satu
suara dariku yang tanpa pengaruh siapapun, menjatuhkan pilihan padanya, pasti
akan membawa perubahan. Sosok yang menurutku dari wong cilik, pasti akan
memperjuangkan wong cilik.
Wong cilik yang
tidak muluk-muluk permintaannya, akses pendidikan terjangkau, akses
kesehatan mudah, harga kebutuhan pokok murah, bisa mencari kerja berdasar
kemampuan dan keseriusan, hanya itu. Tak
lebih!
Dua periode aku (mau) memilihnya dengan suka rela. Delapan tahun
berlalu, perubahan yang aku harapkan hanya janji manis. Kini pemahamanku
semakin bertambah yang berujung pada kesimpulan bahwa dulu aku terlalu naif,
aku kecewa. Lalu pada siapa kumengadu? Mereka hanya peduli pada kelompoknya.
Yang penting proyek jalan terus, biar ada ladang korupsi, KPK diperlemah biar koruptor tidak ada yang tertangkap. Walau Negara miskin, tak apalah bisa hutang, asal semua mega proyek terdanai.
Batang, 10 April
2022
Editor: Pemulung Rasa