Guru,
sebuah profesi yang terus melekat dalam pribadi setiap orang yang
menggelutinya. Bisa dikatakan, tak ada kata pensiun bagi sosok guru, meski
dalam sistem negara ini ada yang namanya pensiun. Secara umum, di negara ini
masih berhamburan perspektif bahwa guru sudah tidak menjadi guru lagi atau
melepas gelar profesinya sebagai guru ketika sudah habis masa jabatannya atau
sudah tidak bekerja lagi menjadi guru di suatu instansi pendidikan.
Kita lupa, bahwa guru tetaplah guru. Tidak ada eks atau bekas atau mantan guru. Sekali lagi, guru tetaplah guru. Ia Abadi.
Guru bukanlah profesi yang semu. Ia
merupakan bagian dari sumber segala sumber yang menjadikan adanya benih yang menumbuhkan
beragam hal di marcapada ini.
Profesi
satu ini rasa-rasanya memang tak bisa terlepas dari seseorang yang
menggelutinya. Bagaimana tidak, di dalam dan di luar sekolah pun sering
dipanggil dengan guru, meski ada embel-embel mas, mbak, pak, bu, mbah, dan
sebagainya. Ketika berada di lingkup civitas academica atau sekolah, biasanya
peserta didik, kang parkir, satpam,
ibu kantin, rekan sejawat menggunakan sapaan pak guru, bu guru, mas guru, mbak
guru, dan itu tentu sangat wajar dan lumrah karena memang di habitatnya.
Hal
yang kadang membuat berpikir panjang (bagi si pelaku dan pemikir) yakni ketika
selepas melaksanakan amanah mengajar dan berada di luar gerbang sekolah namun
masih sering dipanggil guru oleh sekeliling. Bahkan, di masyarakat pedesaan yang
masih lekat dengan unggah-ungguh,
ikhtiar panjang nguwongke uwong, sosok
guru yang sudah pensiun masih menyandang gelar guru, ada yang disebut pak guru,
bu guru, dan ada pula yang disebut mbah
guru.
Misalnya, saat ngopi bersama kawan lama atau bertemu kawan di sebuah acara resepsi mantan, seringkali ada yang menyapa, “Eh pak guru, apa kabar?” Kala sedang kumpulan RT atau pemuda, seringkali ada yang nyeletuk, “Wes, ayo pak guru, mau usul-usul apa, atau nanggepi usulan-usulan tadi sekiranya bagaimana?”
Kala duduk-duduk
di cakruk usai asyar sembari menikmati senja, harmoni ranting dan dedaunan bergesekan, suara tonggeret dan kicau burung, dan menunggu azan magrib berkumandang bersama
tetua-tetua, seringkali ada yang nyeletuk, “Mbah
guru, monggo sesnya (rokoknya),”
sembari mengulurkan rokok samsu. Meski tahu kaklau beliau tidak suka samsu tapi sebagai
wahana menghargai, basa-basi, atau apalah-apalah yang menjadikan nuansa lebih
merona.
Untung
mereka manggilnya ada embel-embel pak atau bu –meski dasarnya kami belum rabi
apalagi punya momongan,- dan Mbah
meski belum memiliki cucu karena anak-anaknya belum rabi. Bayangkan kalau tidak
ada embel-embel itu, kan nuansanya seperti Sun Go Kong manggil Tom Sang Cong.
Kelekatan profesi guru di tengah masyarakat tentu saja bukan tanpa alasan. Jika merunut lebih jauh, pada era kolonial, guru bukan hanya sebuah profesi, tetapi juga mereperesentasikan sebuah kedudukan sosial alias kelas sosial. Era dulu ada penguasa, kaum priyayi, dan wong cilik.
Guru dianggap sebagai seseorang yang berkedudukan
tinggi dan terhormat. Bisa dikatakan guru merupakan bagian dari kaum priyayi. Hal
tersebut bukan karena sebatas memiliki jabatan, tetapi karena beliau-beliau
merupakan sosok yang mau dan ikhlas nggulowenthah
atau mendidik anak-anak dan atau masyarakat.
Dalam
kebudayaan hidup masyarakat Jawa, ada sebuah petuah yang mengatakan bahwa guru
itu akronim dari kata digugu lan ditiru.
Digugu diartikan sebagai sosok yang
bisa dijadikan suri tauladan karena ilmu, perilaku, dan adabnya. Guru seringkali
dianggap oleh masyarakat sebagai sosok yang berwawasan, berpengalaman,
bijaksana, dan seseorang yang temuwo
pun bijaksana. Tak heran jika beliau-beliau
ditiru atau dijadikan contoh sifat,
sikap, dan perilakunya dalam menjalani hidup bermasyarakat atau hidup di tengah
masyarakat.
Pandangan
tersebut sangat baik untuk mengabadikan sosok guru. Namun, kita harus ingat
bahwa dalam hidup ini segala sesuatunya itu penuh Yin dan Yang, hitam dan putih.
Namun, pandangan baik tersebut bagi pandangan beberapa orang juga menjadikan
salah dua penyebab guru dianggap tidak keren di zaman yang sebar was wis wus wes wos ini.
Kita
tarik dulu ke habbit kuliah mahasiswa
keguruan. Sebagai eks mahasiswa keguruan, setidaknya dapat dilihat bahwa beberapa
mahasiswa keguruan merasa menjadi mahasiswa yang dibentuk untuk bijaksana dan
atau dapat mendidik itu sungguh tidak keren. Tidak relevan di zaman sekarang
ini. Ha aku punk og! Itu hal yang sungguh berat.
Lihat
saja, saat mahasiswa fakultas lain bebas memakai celana jeans sobek-sobek, kaos
oblong, totebag estetik atau totebag dengan kata-kata tertentu
yang dikawinkan dengan nuansa-nuansa kekiri-kirian atau kekanan-kananan atau
kekiri-kananan atau kekanan-kirian untuk melenggang ke kelas, kami kudu pakai
celana alusan dan kemeja. Jan ora njamani! Ditambah lagi harus benar-benar menjaga sifat dan sikap,
berat geas. Serasa ndak bebas blas.
Semoga
saja, pikiran masih tetap bisa tumbuh subur dan liar, pun tidak terjebak dengan
korden tubuh. Sebab, dalam menilai, memupuk, dan menempa diri dalam melakoni hidup
di marcapada ini bukan sebatas casing,
tetapi yang lebih utama adalah software-nya.
Casing merupakan bagian penunjang
untuk menyukseskan penaburan, penyemaian, penjualan produk yang dimiliki dan diproduksi
oleh software-software.
Itu
masih soal mahasiswa keguruannya, belum sampai pada profesi gurunya. Mahasiswa
keguruan juga takut membayangkan jika dirinya harus munafik. Maksudnya, ketika
besuk lulus dengan gelar EsPeDe-nya apalagi ditambah dengan GeeR-nya, dan
menjadi guru muda, mereka merasa terbebani pikiran dan batinnya. Lah
bagaimana, perspektif guru itu harus bijaksana, temuwo, dan lain sebagainya itu sudah lekat eh. Mau tidak mau harus
mau hidup dalam wadah itu.
Ketika teman sebaya berprofesi lain dan bisa polah tingkah sakpenake wudhele dhewe, sebagai guru setidaknya harus menjaga kebijaksanaan dalam melakoni hidup ini. Mudahnya, tidak bisa nakal gitu loh. Kalau mau ikut-ikutan nakal susah, harus ngumpet-ngumpet dulu. Lha bagaimana, di sekolah itu kalau mau merokok saya harus ngumpet-ngumpet biar ndak ketahuan peserta didik.
Kalau merokok di depan peserta didik ya dikatakan
tidak mematuhi peraturan instansi, kurang menjaga attitude atau norma yang berlaky, memberi contoh tidak baik, dan tentu akan dihujani beragam
suara lainnya. Masa ya harus menambah panjang jam dan jadwal overthinking lagi. Kan ya males.
Ngumpet-ngumpet tetap menjadi koentji.
Belum
lagi ketika diri kelepasan mengucapkan kata-kata yang dianggap kurang baik,
kotor, dan anggapan buruk lainnya. Misal, keceplosan berkata “Juancuk!” saat
mengajar atau di depan rekan-rekan dan peserta didik. Wuh stigma pasti bakalan
melekat, langsung viral, tranding
topik di kantor, kantin, dan sebagainya.
Padahal kata itu bukan mengumpat, mengatai orang, namun ungkapan ketika takjub atas suatu hal dan susah menjelaskannya dengan kalimat lain. Misalnya, kala melihat lukisan atau karya siswa yang sering di-bully karena dianggap paling cupu, tidak mbois, tapi karyanya sangat luar biasa, estetik dan penuh filosofis, melebihi karya kaum tukang bully. Kalau mengucapkan dengan kalimat pasti sangat susah dan tentunya panjang, belum lagi harus mikir keras buat menyusun kata-katanya biar mudah dipahami orang-orang di situ. Walhasil, keceplosan kata "Juancuk!"
Mau tidak mau karena kata "Juancuk!" itu ya jadi kudu pasang sikap bodo amat, los dol, dan ndableg. Tentu harus mikir keras perang wacana dan geriliya menabur opini untuk menggerakkan hati dan pikiran di sekeliling atas kata itu. Bahwa dalam memandang kata harus luas, tidak sebatas dari makna eksplisit, tetapi juga dari sisi implisit, konteks, dan lainnya.
Dan jadinya malah ribet sendiri, kan? Tetapi tak apa ribet, toh memang butuh perjuangan dalam membuka pandangan terlebih di tengah banjir informasi dan kemudahan ngelek informasi tanpa mengunyah.
Berangkat
dari hal tersebut, banyak mahasiswa keguruan lantas mengaku dirinya salah
jurusan. Dalih salah jurusan tersebut ada yang memang karena benar-benar salah
jurusan, ada pula yang hanya sebatas menutupi suatu hal agar terlihat keren.
Belum
lagi ketika mahasiswa keguruan dihadapkan pada kenyataan pahit soal
kesejahteraan menjadi seorang guru, terlebih guru honorer, kontrak lagi. Ah ini
berat sekali. Mau tidak mau harus berpuasa hidup, menjalani hidup dengan
penuh ngampet dan prihatin, tentu harus selalu muter otak untuk memenuhi beragam kebutuhan. Kebutuhan, bukan keinginan.
Ketika
mahasiswa teknik lulus dan bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji
besar. Ketika mahasiswa ikatan dinas lulus langsung “mengabdi”. Ketika
mahasiswa lain yang aktif di organisasi entah apa pun itu lulus, lalu masuk
partai, dan beberapa tahun kemudian nyaleg lalu masang baliho dimana-mana dan
berbicara demi bangsa dan negara, dan beneran jadi wakil rakyat.
Mahasiswa
keguruan setelah lulus harus benar-benar “mengabdi” di sekolah. Itu pun dengan
perjuangan panjang yang harus nyetak banyak surat lamaran pekerjaan, mumet edit
cv, muter-muter masukin lamaran di sekolah-sekolah. Sialnya kok malah ketika
sampai seleksi akhir kalah dengan orang lain yang punya kekuatan orang dalam. Lalu
muter-muter lagi dan syukurnya sampai diberi amanah oleh Gusti menjadi seorang guru honorer. Tentu
kita semua tahu bagaimana menjadi guru honorer. Berat. Iya berat, melebihi
rindunya Dilan.
Ditambah lagi sekarang tidak ada formasi guru dalam CPNS. CPNS di sini bukan Calon Pegawai Nagita Slavina, tapi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dua hal ini singkatannya sama, tapi tentu sangat beda nasibnya.
Sekarang adanya PPPK,
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Namun, syaratnya juga berat, harus
sudah mengajar dahulu. Bagaimana para fresh
graduate atau mahasiswa keguruan
tidak tambah minder, lalu menganggap guru tidak keren. Persoalan minder dan
keren itu tentunya berkorelasi bukan?
Sudah
seperti itu masih ditambah pula terpaan baru era digital. Dimana banyak
bermunculan profesi baru seperti atlet e-sport,
trader, dan lain sebagainya yang entah
dapat disebut sebagai profesi atau hanya bisa disebut sebagai pekerjaan.
Pastinya, pekerjaan-pekerjaan itu lebih dianggap keren oleh sebagian orang, dan banyak dicita-citakan.
Sebenarnya
masih banyak lagi yang mau dimuntah-muntahkan di sini. Namun, sepertinya sudah
terlalu panjang, dan kurang baik juga jika apa pun itu terlalu berlebih.
Oke,
sebetulnya dapat disimpulkan, dari semua anggapan dan alasan yang menjadikan
profesi guru itu tidak keren, alasan kesejahteraan itulah yang paling besar andilnya. Mahasiswa keguruan tentunya merasa
minder atau lebih kerennya insecure
ketika harus membahas soal kesejahteraan. Terlepas dari anggapan positif
terhadap profesi guru yang dianggap bijaksana dan luhur, tetapi itu tidak
cukup.
Memang
manusia akan selalu merasa kurang dan tidak cukup. Tetapi ini semua sejatinya bisa
diperbaiki mulai dari sistem berbekal kepekaan dan kepedulian kekuasaan dan
jajarannya. Permasalahan guru honorer ini sudah berpuluh-puluh tahun, mbok
setidaknya itu mulai diperhatikan. Toh semua ini demi kebaikan bersama. Demi bangsa ini juga.
Sesekali
pemerintah juga harus membayangkan, bagaimana besuk ketika saya yang berprofesi
sebagai guru honorer dan akan melmar pacar saya yang dulunya anak Hubungan
Internasional. Bagaimana dengan calon mertua saya, apakah tidak jauh itu kelasnya. Terlebih jika kita masih terlalu mendewa-dewakan kelas sosial. Begitu kiranya insecure yang berujung pula ke overthinking.
Apakah
tidak kasian dengan pikiran dan jiwa para honorer yang overthinking dengan hal itu, yang sebelumnya sudah sesak overthinking atas nasib peserta didik
dalam belajar dan menempa jiwanya untuk masa depan dirinya, keluarganya,
lingkungannya, ditambah katanyanya generasi muda harapan bangsa. Kalau generasi
mudanya mletre nanti yang disalahkan
dunia pendidikan, guru lagi yang kena. Ah, sudahlah.
Bagaimanapun itu, urip iku wang sinawang. Kita melihat profesi lain lebih keren, tetapi belum tentu dia merasa keren. Begitu sebaliknya. Seiring perjalanan waktu, pendewasaan pun sedang disemai, penerimaan itu terjadi. Baru tersadar, ternyata yang dibutuhkan dalam hidup ini tak lain hanya bersyukur dan bersyukur. Seperti nama saya, hahahaha...
Ditulis
oleh Muhamad Yaskur. Lahir dan tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Saat ini
menyibukkan diri dalam ruang pengabdian dan dolanan kamera. Informasi lebih
lanjut bisa ditilik di akun twitter sisentimental dan instagram yaskurlawrence.
Editor : Pemulung Rasa