MEREKA TERLALU BURU-BURU REBUTAN MEMBAYAR HUTANG NEGARA.
Mungkin, itu kata-kata yang cocok bagi para Capres yang kini mulai menebar pesona dengan berbagai cara. Pemilihan Presiden masih dua tahun lagi, baliho sudah bertebaran di mana-mana dan mengganggu pemandangan pun menodai estetika. Saling sangkal hasil survei yang tidak menguntungkan dengan berbagai macam argumen untuk menunda pembentukan wacana pun digelar oleh mereka. Tambah lagi relawan-relawan yang tidak mau ketinggalan dari parpol untuk segera turut berlomba-lomba mendeklarasikan dukungan pada kandidat.
Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas menempatkan Prabowo Subiyanto, Ganjar Pranowo, dan Anis Baswedan sebagai kandidat terkuat dengan elektabilitas tinggi. Dari ketiganya barang kali Ganjar Pranowo akan banyak menemui kendala karena Puan Maharani sebagai putri mahkota nampak tetap ingin dijagokan oleh PDI-P, meskipun hasil survei menunjukan dirinya belum mampu bersaing dengan calon lainnya.
Prabowo sebagai ketua umum Gerindra nampaknya masih belum minat untuk memainkan peran sebagai king maker. Bapak tasih kersa menjadi alasan kuat bagi semua kader Gerindra untuk total satu suara mendukung ketua umumnya, meskipun masih ada rasa kesal bagi simpatisannya ketika dirinya bersedia menjadi awak kapal Pemerintahan Jokowi.
Di sisi lain, Anis Baswedan, Ganjar, dan Jendral Andika sudah dikontestasikan oleh Nasdem, sayangnya hal itu belum cukup sebagai kendaraan pencalonananya karena sistem presidential threshold. Terlebih lagi Ganjar yang masih terjebak pada benang kusut. Maju kena mundur kena, barang kali judul film Warkop DKI itu tepat untuk merepresentasikannya. Sementara itu, Jendral Andika belum muncul ke permukaan dari hasil survei.
Indonesia memberikan kesempatan yang sama pada putra-putri terbaiknya untuk menjadi Presiden, sayangnya itu hanyalah kalimat pemanis yang tertuang dalam Undang-Undang. Realita tidak semanis itu, mereka yang memiliki kompetensi di atas rata-rata untuk menjadi pemimpin bangsa nyatanya dikerangkeng dengan adanya aturan presidential threshold 20% plus 1.
Sebetulnya, rakyat di akar rumput tidak begitu merisaukan siapa yang akan menjadi RI-1, itu dibuktikan dengan keadaan di bawah yang terus mereda dan memilih untuk fokus pada pemulihan ekonomi pribadi pasca covid. Beberapa usaha media yang terus menggoreng pertentangan antarkubu karena pemilu 2019 kemarin tidak begitu mendapat perhatian lagi. Masyarakat sudah bosan dengan pertarungan wacana yang tak berkesudahan. Mereka lebih khawatir dengan keadaan ekonominya yang belum pulih sebagai dampak dari covid yang merembet pada hutang negara yang begitu besar.
Sebetulnya pikiran rakyat cukup sederhana, mereka ingin Presidennya nanti mampu membayar hutang negara yang mencapai lebih dari 7000 triliun. Bagi masyarakat, jika hal tersebut dilakukan maka ekonomi akan perlahan membaik.
Mereka beranggapan, bahwa ketika negara mampu mengikis hutangnya maka keadaan akan menjadi lebih baik. Tidak seribet yang dikatakan Sri Mulyani dengan berbagai konsep dan strategi pemulihan ekonomi. Dengan demikian siapa pun capresnya nanti, strategi produksi wacana “mampu membayar hutang negara dan pemulihan ekonomi” akan menarik simpati. Tidak peduli dari partai mana dan seperti apa.
Sayangnya setelah terpilih, sering kali wacana yang dijadikan umpan-umpan kampanyenya tetap tertinggal sebagai wacana. Lebih tepatnya hanya sebagian yang ditunaikan, selebihnya terlupakan oleh rencana-rencana baru yang memperburuk keadaan. Nawacita, dagangan Presiden Jokowi di Pemilu 2019, nyatanya belum mampu terbayar tuntas. Masih ada beberapa yang tidak terealisasi, di antaranya pertumbuhan ekonomi 7%, ditambah tambah lagi rencana pemindahan Ibu Kota, makin menjauhkan dari penuntasan janji-janji kampanyenya tersebut.
Sebetulnya masyarakat tidak peduli dengan rencana pemindahan Ibu Kota, yang mereka khawatirkan adalah dampak dari pemindahannya yang dapat menguras kas negara dan mengakibatkan penambahan hutang.
Dengan demikian presiden 2024 bagi masyarakat adalah dia yang tidak hanya memiliki skema rencana bagaimana cara pembayaran hutang, tetapi bisa membuktikan bahwa dirinya mampu mengikis, tidak menambah jumlahnya lagi dan bisa melunasi. Namun, meski pikiran tersebut sangat sederhana akan tetapi menjadi hal yang paling sulit ditunaikan. Sejarah membuktikan belum ada satu pun Presiden Indonesia yang mampu melunasi hutang Negara. Hanya beberapa yang sedikit bisa mengurangi, sayangnya hal tersebut pun ternodai korupsi yang tetap terjadi.
Nantinya, baik Prabowo, Anis, Ganjar, dan calon lain yang ingin memperebutkan kursi nomor satu di Indonesia perlu menyiapkan ribuan strategi untuk menjawab keinginan sederhana yang menjadi kekhawatiran rakyat tersebut dengan bukti, bukan hanya sekadar wacana atau janji. Jadi, mengapa harus buru-buru mendeklarasikan diri maju sebagai Capres jika di depan menghadang persoalan besar dan belum tentu tertangani?
Barang kali hasrat berkuasa yang terlalu tinggi mendorong mereka untuk menceburkan diri pada situasi yang pelik. Pendapat tersebut akan disangkal dengan argumen, jika tidak ada putra-putri terbaik yang maju menjadi pemimpin, bagaimana nasib bangsa kedepan. Tetapi akan ada sangkalan tandingan, bahwa yang menganggap diri terbaik seharusnya bukan dari hasil survei pesanan atau kreasi dari buzzer, tetapi karena kontestasi yang bersih dan jujur tanpa adanya sekat presidential threshold.
Jika peraturan itu masih ada, survei pesanan masih terus digunakan, dan buzzer terus diternak dan berkeliaran di media massa untuk terus memproduski wacana dengan saling menjatuhkan. Alhasil, kandidat yang dianggap terbaik dan pantas hanya menjadi suatu pendapat subjektif pribadi atau parpol pengusung yang hasilnya pasti omong kosong. Boro-boro bisa membayar hutang negara, menumbuhkan ekonomi, dan memberikan kesejahteraan, menambah masalah malah yang paling mungkin bisa terjadi.