Mengenal Sosok Rasuna Said; Sang Singa Podium |
Terkhusus untuk pengguna google search engine wilayah Indonesia, Google Doodle hari ini (14/9) merayakan ulang tahun ke-112 sang
singa podium, Rasuna Said. Melalui Doodle-nya
Google mengingatkan bahwa perjuangan memerdekaan wanita dan kemanusiaan, serta
perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus dinyalakan. Bara tak boleh
padam.
Rasuna Said merupakan wanita yang gigih memperjuangkan
hak-hak kaum wanita, meskipun diganjar bui. Ia terus bergerak memajukan wanita
dengan pendidikan agar mereka merdeka. Bagi rakyat Minang, Rasuna adalah wanita baja yang mampu mengelorakan semangat perjuangan melawan dominasi kolonial
Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, hukum berjuluk speek delict menyandera masyarakat. Speek delict akan menjerat siapa pun
yang berbicara tidak baik, tidak memihak, terlebih melawan Belanda. Rasuna
adalah wanita pertama yang terjerat hukum tersebut. Ia
dibui.
Wanita kelahiran Nagari Panyinggahan, Paninjahan,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 14 September 1910 tersebut dikenal garang
sejak remaja. Tak heran jika konsistensi garang dan perjuangan memerdekakan
kaum wanita sampai akhir hayatnya menjadikan dirinya sebagai salah satu
pahlawan wanita Indonesia. Rasuna, wanita kesembilan yang menerima kehormatan
tersebut dari 15 pahlawan wanita Indonesia.
Menengok ke belakang, pada masa tersebut, Rasuna merupakan
wanita yang dipandang mujur. Ia lahir dari keluarga mapan. Ayahnya, Muhammad
Said adalah saudagar kaya, melek pendidikan, dan aktivis politik yang disegani
masyarakat. Kegarangan Rasuna sejak remaja tak luput dari darah dan jiwa aktivis
ayahnya yang mengalir deras di tubuhnya dan mengakar sampai palung jiwanya.
Sebagai seorang anak wanita, ia memiliki kedudukan yang
penting di keluarganya. Dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, sistem kekerabatannya
yakni matrilineal atau menurut garis keturunan ibu. Wanita memiliki peranan
yang khas. Navis (1986), menyebutkan
bahwa dalam sistem adat matrilineal, kekuasaan berada di tangan wanita. Bagi
orang Minang, wanita diposisikan sebagai ibu yang melahirkan anak-anaknya.
Dalam konteks yang lebih luas, hal tersebut bisa
diartikan bahwa wanita memiliki peranan besar dalam membangun generasi
berikutnya, anak-anak zaman di masa mendatang. Rasuna adalah ibu pergerakan dan
perlawanan yang melahirkan kemerdekaan wanita di tengah hukum adat dan
cengkerama penjajahan Belanda.
Setelah tamat dari Voklschool
ayahnya tidak ingin anak wanitanya itu melanjutkan ke sekolah bercorak Belanda.
Ia mengirimnya ke pesantren Ar-Rasyidiyah. Rasuna adalah satu-satunya santri wanita di pesantren tersebut.
Selepas dari Ar-Rasyidiyah, Rasuna hijrah ke Padang
panjang. Ia masuk ke Madrasah Diniyah Putri yang didirikan oleh salah satu
tokoh emansipasi wanita di Sumatera Barat, Rahmah El Yunusiyah. Madrasah
Diniyah Putri merupakan sekolah khusus wanita yang pertama kali ada di
Indonesia, didirikan pada 1 November 1923. Pelajar di sekolah tersebut 71 orang
dan sebagian besar merupakan kelompok ibu muda.
Madrasah Diniyah Putri memiliki tradisi yang mengharuskan
siswa dari kelas lebih tinggi mengajar kelas yang lebih rendah. Hal tersebut
yang menjadikan Rasuna yang masih menjadi siswa bisa merasakan belajar mengajar.
Menginjak usianya 13 tahun, Rasuna diangkat menjadi
pengajar pembantu di madrasah
tersebut. Meski ditugaskan menjadi pengajar pembantu, ia masih menimba ilmu
kepada ayahnya Buya Hamka yakni Dr. H. Abdul Karim Amrullah, pemimpin terkemuka
Kaum Muda di Padang Panjang.
Rahmah, pendiri Madrasah Diniyah Putri merupakan
pendukung gerakan Soematra Thawalib yang dipengaruhi oleh pemikiran Mustafa
Kemal Ataturk, tokok nasionalis-islam dari Turki. Sosok gurunya tersebut yang
menjadikan Rasuna mulai tertarik masuk ke ranah pergerakan.
Sebelum pada akhirnya ia menceburkan diri dengan Soematra
Thawalib, organisasi pergerakan pertama yang dipilih Rasuna yakni Sarekat
Rakyat (SR). Di organisasi tersebut ia bersama dengan Tan Malaka, sosok sentral
di sana.
Sebelum masuk di Sarekat Rakyat, di tengah kesibukan
aktivitasnya sebagai guru bantu, Rasuna mulai kepincut dengan hingar-bingar
gerakan Kuminih. Gerakan tersebut digawangi oleh guru agama Soematra Thawalib
Padang Panjang, Haji Ahmad Chatip yang bergelar Datuk Batuah.
Darah aktivis dari ayahnya mendidih, Rasuna berusaha agar
sesegera
mampu beradaptasi dengan ideologi Kuminih. Rasuna kemudian terpilih sebagai Sekretaris di Sarekat Rakyat Padang
Panjang. Rasuna memilih sarekat ini karena salah satu sarekat yang awal
menyuarakan protes terhadap kebijakan Kolonial Belanda, terutama persoalan
kapitalisme, belasting, kolonialisme,
dan lainnya. Selain itu, organisasi ini kuat dengan nilai keislamannya dan
tidak bersifat sekuler.
Setelah setahun aktif di sarekat dan mengikuti persiapan
revolusi yang akan digelar 16 November 1926 dan 1 Januari 1927, Rasuna menjadi
pribadi yang kritis dan radikal. Namun, pasca-gagalnya peristiwa Silungkang yang membawa Kuminih ke jurang kehancuran
menjadikan dirinya terguncang. Rasuna memilih kembali ke Paninggahan,
Mananijau.
Seorang Pemimpin PSII di Maninjau, Oedin Rahmani
menyadarkan Rasuna. Ia kembali bangkit dari keterpurukannya. Dalam periode
selanjutnya, aktivitas politik Rasuna menjadi banyak berkiblat pada
mentor-mentor politiknya. Kepiawaian Rasuna menggetarkan hati massa kala di
podium tak lepas dari sentuhan Oedin.
Rasuna terinspirasi dari pidato-pidati Oedin. Berkat
Oedin, Rasuna menjadi pribadi yang progresif, radikal, dan pantang menyerah.
Oedin mewajibkannya berlatih pidato dan debat. Alhasil, Rasuna makin
menggelegar, dada masyarakat pun didobrak habis oleh kata-katanya.
Puncak aktivitas politiknya yakni pada masa pergerakan, tatkala merintis
Persatuan Muslimin Indonesia (P.M.I/PERMI) pada 1931. PERMI lahir dari Soematra
Thawalib. Ia turut berperan dalam transformasi tersebut untuk terjun kembali ke
kancah politik.
Di PERMI Rasuna sebagai seksi propaganda, terutama untuk
kalangan wanita. Ia juga diberikan mandat untuk mendirikan sekolah, membangun
kader-kader PERMI. Tujuannya tak lain untuk mengajari beragam keterampilan,
membaca, dan menulis untuk kalangan wanita yang tidak terdidik.
Dalam aktivitasnya, ia kerap berorasi mengkritik
pemerintahan kolonial Belanda di hadapan publik. Rasuna dalam pidatonya kerap
mengecam cara Belanda memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia. Tak jarang
pidatonya dihentikan paksa oleh aparat. Keberaniannya tersebut yang menjadikan
dirinya dijuluki singa betina.
Puncaknya adalah ketika rapat umum PERMI di Payakumbuh
pada 1932. Kala Rasuna pidato aparat datang dan memaksanya berhenti. Ia
ditangkap, diajukan ke pengadilan kolonial. Kemudian, Rasuna dibui selama satu tahun dua bulan di Semarang dengan
dakwaan speek delict.
Usai bebas dari terali besi, Rasuna kembali ke Sumatera
Barat. Ia melanjutkan studi di Islamic
College pimpinan Mochtar Djahja dan Koesoemah Atmadja di Padang. Lalu ia
pindah ke Medan dan memulai gebrakannya di dunia jurnalistik bersama sejumlah majalah, surat kabar,
seperti Suntiang Nagari, Raya, Menara Poeteri, dan lainnya. Di Medan, Rasuna
juga mendirikan sekolah keputrian.
Pada masa pendudukan Jepang, kiprah Rasuna Said tidak berhenti.
Ia pun turut menggagas berdirinya Nippon Raya. Tujuannya tak lain untuk
membentuk kader-kader perjuangan. Organisasi ini kemudian dibubarkan pemerintah
militer Jepang.
Rasuna Said, salah satu dari sedikit tokoh wanita yang
memiliki andil penting dalam masa kemerdekaan. Ia bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda
Indonesia, kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia mewakili Sumatera
Barat. Jabatan politik terakhirnya yakni anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) sejak 2 November 1965.
*Sumber
dari berbagai rujukan kredibel.