Rumpun kata ini adalah serakan rasa yang dipulung dari
sebuah ruang yang dianggap kecil namun tidak kecil, ruang biasa-biasa saja
namun tidak biasa saja. Ruang itu merupakan ruang abstrak yang tidak bisa hanya
sekali eja. Terlebih hanya ketika mengeja dari "katanya, katanya, dan
katanya". Sebab, jika hanya berbekal katanya, nanti yang ditemukan bukan
aslinya namun semu yang (dipaksa) mengudara, kepalsuan yang dipaksa menjadi
nyata, dan kebohongan yang dijelmakan kebenaran.
Rumpun kata ini pun tak lain hanya sebuah larik kekacauan
pikiran dan jiwa atas bentang pandang yang digelar dalam panggung pementasan
semesta. Ruang kecil itu, menghadirkan banyak pertanyaan dan renungan saban
malam atas nilai yang tersembunyi di dalamnya, dalam setiap lekuk pun sisinya.
Ruang itu ibarat sebuah mutiara yang dikemas dalam sebuah
kotak sederhana tanpa hiasan pita ataupun pernak-pernik lainnya. Kotak tersebut
hanya dibungkus dengan kertas putih, bersih, tetapi sebagian orang juga ada
yang menganggap kertas itu buram, agak kucel, dan lainnya. Namun, tak apa,
semua memiliki kemerdekaan atas segala pandangan dan semua memiliki kemerdekaan
mengungkapkan anggapan-anggapan. Terpenting, anggapan tersebut bukan
dilatarbelakangi dan atau bermaksud menghina, mengejek, merendahkan, maupun hal
yang dilatarbelakangi emosi sesaat dan negatif.
Sangat boleh orang beranggapan mengandung SARA yang melatarbelakangi dirinya atau apa yang sedang dinilai. Sebab, SARA adalah potensi terbaik dan yang menjadikan bangsa ini menjadi besar, penuh keberagamaan, dan kekayaan. SARA merupakan potensi besar bangsa ini yang patut dijunjung tinggi, dirawat, dan dilestarikan. Terlebih, SARA dijadikan bahan yang menjadikan diri kita mampu lebih jauh meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang utuh, paseduluran, dan harmonisme, justru itu merupakan keindahan yang patut dirawat. Yang tidak boleh adalah menyinggung SARA -lain yang sedang diri nilai- terlebih mengandung nuansa atau berpotensi munculnya pikiran maupun perasaan negatif, ketidakbaikan, mengacaukan keseimbangan dan keindahan. Mau mengakui atau tidak, bangsa ini terbentuk dari SARA.
Sudah sepantasnya kita
berbicara dengan menjunjung tinggi SARA tanpa nuansa negatif yang
melatarbelakanginya. Pada waktu mendatang, di tengah kebingungan manusia menentukan arahnya akan
kemana, SARA adalah persinggahan yang akan mematahkan kebingungan dan
memberikan mutiara ketenteraman jiwa. SARA adalah kampung halaman yang sudah mulai ditinggalkan, dilalaikan, dan kurang dilestarikan nilai dan segala bentuk potensinya. Padalah, sejatinya itu adalah potensi asli diri kita yang diberikan langsung oleh bos besar pemilik saham kehidupan. SARA adalah mutiara yang kurang dipandang.
Mutiara di sini bukan berarti sesuatu hal yang mahal
secara materiil melainkan sesuatu yang bernilai tinggi. Namun, dalam hal ini
aku tidak akan memaksa kalian (yang membaca) untuk mengikuti sudut pikirku.
Sebab, aku menyadari jika setiap orang memiliki kemerdekaannya masing-masing
dalam memilih dan menentukan sebuah penilaian. Semua orang diberikan kebebasan
dalam menentukan pilihan dan penilian yang mana, semua tergantung dan sesuai
dengan pencapaiannya masing-masing dalam mengarungi samudera kehidupan yang
penuh dengan keparadoksan, keabstrakan, dan keambiguan ini.
Setiap orang memiliki ruang penentuannya sendiri dari
sudut dan sisi mana dalam melihat sesuatu guna menilai sesuatu itu sendiri.
Namun, sepanjang perjalanan kehidupan, banyak sekali ruang-ruang yang menipu
dan mengecoh sudut pandang. Terkadang, diri terkecoh dengan keindahan yang
diwujudkan dari segi bentuk lalu melupakan esensi dan nilai yang terkandung di
dalamnya. Terkadang, diri lupa jika bentuk bisa berubah bersama berjalannya
waktu. Bentuk bukanlah keabadian. Bentuk atau wujud adalah kefanaan. Nilai
adalah wujud dari kesejatian dan isi dari sesuatu itu sendiri. Kosong tidak
selalu kosong, bisa jadi dalam kekosongan itu terdapat isi yang begitu banyak.
Semua kembali kepada bentang pandang yang digelar oleh diri.
Intuisi dan logika tidak bisa bekerja sendiri-sendiri,
terlebih ditumpangtindihkan. Intuisi dan logika harus bekerja sama dalam setiap
sudut pandang agar diri tidak terkecoh dengan banyak hal yang digelar dalam
panggung akbar pementasan kehidupan. Setidaknya dalam diri ada software
pengontrol yang bekerja menyelaraskan logika dengan intuisi. Tak lain dalam
perjalanan pandang agar tidak kesasar-kesasar sampai ke belantara yang jauh
dari yang sedang disinggahi. Sesederhana itu. Namun, sederhana tidak selalu
berarti mudah.
Ruang itu bernama (ke)sunyi(an). Bagaimana tidak. Sebab,
dalam ruang itu yang hidup adalah manusia-manusia yang memasrahkan dirinya
untuk menjadi pengabdi dan pelayan bagi sesama manusia. Mereka yang hidup di
sana terkadang atau mungkin bahkan sering dianggap dan disebut menjadi manusia
yang mengabdi untuk negara.
Lagi dan lagi itu anggapan manusia. Semua bebas beranggapan.
Aku pun berhasrat untuk melontarkan beranggapan juga. Bagiku, mengabdi kepada
negara adalah salah satu serpihan kecil dari niat, ketulusan, keikhlasan, dan
keistikamahan seseorang yang memilih jalan hidup dan memasrahkan maupun
menyedekahkan dirinya menjadi pengabdi dan berusaha menjadi pelayan yang baik
bagi sesama manusia pun semesta. Sebab adanya manusia dan semesta yang
menjadikan adanya sebuah negara.
Toh sejatinya diri kita ini dididik untuk menjadi pengabdi. Lha wong nabi -yang diri kita ikuti- pun diabadikan Michael H. Hart di nomor pertama dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History itu pun ketika ditanya bos besar pemilik saham kehidupan ini jawabannya ingin menjadi ‘abdan-‘abdiyya, hamba yang menghamba, pelayan yang melayani. Beliau karena hamba dan pelayan maka menghamba dan melayani. Bukan mengajarkan menjadi manusia Mulkan-malika –ingin menjadi raja, penguasa politik maupun ekonomi.
Dalam ruang sunyi itu tidak hanya terjadi proses belajar
mengajar, tetapi juga proses sinau bareng agar menjadi manusia yang seutuhnya.
Tak lain, hanya berharap agar manusia yang hidup dalam ruang itu mampu
memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang insani.
Ruang itu mengajarkan banyak hal. Terkadang ayat-ayat
adiluhung itu tertulis dari pancaran senyum, semangat, ketulusan, dan
kesungguhan dari anak-anak yang singgah dan menempa dirinya di sana. Ruang itu
tidak kasat mata, terlebih jika dipandang dari sisi status sosial, penetrasi
budaya akhir-akhir ini yang dihantam gelombang bernama kemajuan dan
globalisasi. Belum lagi jika melihat semangat, ketulusan, perjuangan, dan
keistikamahan para pamongnya yang ngemong anak-anak di sana. Jauh lebih
menghadirkan getaran tersendiri. Sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Dari larik yang sudah kutulis di atas kuniatkan sebagai
mukadimah dalam tulisan yang akan berkelanjutan ini. Tulisan berikutnya
berjudul, Mengeja Bunga (Wijaya Kusuma) di Tengah Riuh Belantara. Tak lain,
tulisan ini lahir dari sebuah kekacauan di dalam jiwa dan pikiranku kala
memandang hamparan kehidupan di mayapada ini yang nampaknya begitu riuh namun
sepi, begitu nampak berisi namun kosong, begitu indah namun palsu. Ruang sunyi
itu seperti oase di tengah padang pasir tanpa batas.
Jika meminjam kata atau tuah Maulana Jalaludin Rumi,
ruang itu adalah bunga mawar yang kutemukan.
Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini. -Maulana Jalaludin Rumi-
Di tengah keriuhan itu aku melihat ada benih-benih
kehidupan yang tumbuh. Harapku sesegera subur, rimbun, dan melahirkan buah-buah
segar yang mengandung banyak isi yang bisa disemai kembali. Lalu ruang itu
menjadi ekosistem yang berkehidupan. Ruang itu bagiku sebuah ruang penempaan
diri dalam mengarungi hari yang makin riuh dan bergemuruh ini. Ruang bertapa
menemukan diri sendiri. Ruang berkaca. Ruang yang menyajikan banyak bacaan atas
semesta yang akan membawa diri kita akan memilih berjalan kemana.