Feminisme lahir dari rahim kesadaran perempuan atas
kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki sebagai manusia. Kesadaran atas
terjadinya pemasungan, pengandangan, peminggiran, pengekangan, dan penindasan
terhadap kaum perempuan dalam jangka waktu yang lama dan kian
dilanggengkan pula oleh kaum patriarki menjadi pemantik bagi kaum perempuan
bangun dari penderitaan panjangnya.
Subordinasi terhadap perempuan dalam jangka waktu yang
sangat lama pun pada akhirnya melahirkan benih kesadaran yang kian hari kian bertambah subur,
rimbun, berbunga, dan berbuah lebat pun segar. Kesadaran menjadi pemicu daya
upaya kaum perempuan (dan laki-laki yang sadar) untuk memperjuangkan terciptanya
kesetaraan gender. Salah satu jalan yang dilalui untuk mewujudkannya ialah
melalui jalan sastra.
Sastra menjadi jalan yang dipilih perempuan (dan
laki-laki yang sadar) dalam menyuarakan isu perempuan dan memperjuangkan
kesetaraan gender. Memilih sastra sebagai jalan perjuangan bukan karena dipicu oleh rasa ketakutan untuk turut terjun ke jalan dan bergerak secara langsung. Namun, hal tersebut
dipicu oleh keberanian yang tumbuh di dalam diri penulisnya.
Seseorang yang berani bersuara melalui sastra merupakan
sosok yang pemberani. Berani berpikir, merenung, bersuara, bergerak, mengabadikan,
dan memperpanjang umur perjuangan. Sekeras, sesistematis, sestruktural, dan
sebanyak apa pun masa dalam berjuang, hal tersebut masih kurang komplet dan
kurang berpengaruh apabila tidak disuarakan melalui tulisan. Tulisan merupakan jalan menuju relung jiwa, dasar pikiran, dan keabadian.
Tak heran, jika pada era pascakebenaran, abad 21 ini, khususnya
di Indonesia, makin banyak penulis perempuan yang muncul ke permukaan dan mulai
menggaungkan isu kesetaraan gender dalam karya sastranya. Sebab, perempuan kian
hari kian berani. Salah satu dari sekian banyak penulis perempuan yang
bermunculan yakni Lucia Priandarini.
Lucia, lahir dan tumbuh di Malang. Ia hidup di rumah yang
penuh buku. Lucia merupakan alumni jurusan Komunikasi di Universitas Indonesia.
Pasca lulus, dirinya menghidupi ragam lakon kehidupan, seperti reporter,
menulis naskah nonfiksi, menulis konten, serta menulis novel dan puisi. Salah
satu karyanya dalam bentuk puisi yang bersuara tentang perempuan dan sering
dikutip pun dibicarakan banyak orang ialah “Perempuan-Perempuan yang Terlalu”.
Perempuan nampaknya menjadi sosok yang sangat menarik dalam sepanjang
sejarah kehidupan umat manusia. Pembahasan mengenai perempuan tidak ada
habisnya. Segala hal tentang perempuan tak ada hentinya dibicarakan umat
manusia, baik oleh laki-laki maupun perempuan itu sendiri dalam berbagai ruang,
waktu, situasi, dan ragam kondisi.
Hal-hal menyenangkan dan tidak menyenangkan pun terus
bergulir menimpa perempuan. Namun, nampaknya, lebih banyak hal tidak
menyenangkan yang menimpa dan dialami perempuan dalam kehidupannya sebagai
manusia.
Kekerasan seksual, subordinasi, dan diskriminasi terhadap
perempuan masih terus terjadi sampai saat ini, tanpa henti. Contohnya, ragam
kasus yang terpampang di media massa, media sosial, dan dalam obrolan-obrolan
masyarakat yang hidup di sebuah negara yang berpegang pada asas Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia. Kasus-kasus tersebut sangat menggemaskan.
Dari puisi tersebut, Lucia menangkap dengan serius ragam kegelisahan
yang dialami perempuan Indonesia, baik yang muncul atau tidak muncul ke
permukaan. Kegelisahannya menjadi bahan tadabur yang kemudian diolah dan dituangkan ke
dalam karya puisinya dengan bahasa yang menohok. Dalam puisi “Perempuan-Perempuan
yang Terlalu”, Lucia menggambarkan betapa serbasalahnya hidup menjadi
perempuan.
Puisinya menjadi makin menarik dipelajari dan ditebarkan ke setiap telinga dan mata karena topik yang diangkatnya lekat dengan kehidupan perempuan Indonesia. Najwa Shihab, salah satu sosok perempuan panutan generasi muda yang selalu vokal dan berani berbicara banyak hal, termasuk isu perempuan, beberapa kali dalam obrolan dan diskusinya memetik puisi “Perempuan-Perempuan yang Terlalu” (dan menyebutkan nama penulisnya, Lucia Priandarini) untuk mengungkapkan keadaan perempuan di tengah kehidupan ini.
Perempuan-perempuan memang selalu terlalu
Gincu terlalu merah untuk sekadar mengantar anak ke sekolahRok terlalu pendek, pantas saja diganggu
Hijab terlalu panjang, hati-hati jatuh saat naik sepeda
Pada bait pertama puisi tersebut, Lucia menggambarkan
keadaan di mana perempuan selalu dinilai berlebihan dalam berpenampilan. Dalam
kehidupan sehari-hari, perempuan menemui atau tepatnya diberikan
batasan-batasan oleh budaya yang dikonstruksi laki-laki. Dampak dari konstruksi budaya
tersebut menjadikan perempuan kehilangan kebebasannya dalam
mengekspresikan diri melalui biologi atau tubuhnya. Mudahnya, dalam berpenampilan.
Dalam pemaknaan umum, penampilan sering kali diartikan
sebagai bagian dari gaya hidup seseorang. Namun, dalam penafsirannya tersebut,
sering kali si penafsir tidak mempertimbangkan unsur psikologis, biologis, dan
unsur-unsur yang lainnya di dalam diri dan budaya perempuan. Bisa jadi, mungkin
karena si penafsir memang tidak memahami psikologis dan unsur lainnya di dalam
diri perempuan sehingga tidak memasukkan unsur tersebut dalam tafsiran dan
ucapan-ucapannya.
Sialnya, pelecehan terhadap perempuan pun seolah
dinormalisasikan karena terjadi atas kesalahan perempuan itu sendiri dengan penampilan atau pakaian yang digunakan tidak sesuai standar kesopanan yang dibangun masyarakat. Sering kali, dalam kasus pelecehan
seksual, baik yang muncul di permukaan atau diceritakan secara individual oleh
korban, si korban banyak yang mendapatkan respons “Pakaianmu bagaimana?; Kamu pakai
pakaian seperti apa?; Penampilan kamu waktu itu bagaimana?”
Menurut kalian yang waras dan punya nalar sehat, “Apakah
pakaian pemicu utama penyebab terjadinya pelecehan seksual? Apakah pantas,
beradab, beretika, dan berempati ketika diri menyalahkan pakaian korban? Apakah
diri mempertimbangkan keadaan psikologis korban ketika memilih menyalahkan korban yang mempercayaimu sebagai
ruang cerita atas tragedi yang dialami?” Sesekali, perlu merenungkan kembali
pertanyaan sederhana tersebut agar tidak mudah memberikan tanggapan. Terlebih, asal berbicara dan merespons.
Bukankah pelecehan seksual itu karena adanya kebuasan di
dalam otak dan imajinasi yang membangkitkan nafsu berahi si pelaku? Bukankah
jika seperti itu yang terjadi, seharusnya yang dikandangi bukan perempuan, melainkan laki-laki? Bukankah yang perlu dididik lebih bukan cara berpakaian perempuan,
tetapi etika, pola pikir, dan perilaku laki-laki?
Apakah ketika ada perempuan telanjang berarti ia boleh
dilecehkan atau diperkosa, ataukah seharusnya laki-laki yang belajar menundukkan
pandangan dan mengontrol pikiran pun kebuasan nafsunya? Bukankah lebih baik
ketika laki-laki sekelibat melihat perempuan telanjang terus mencarikan pakaian
dan memberikan ke perempuan lain untuk diberikan ke perempuan yang telanjang
tersebut agar tubuhnya tidak dilihat banyak orang?
Ataukah menyalahkan korban dengan dalih pakaian yang
digunakannya merupakan bentuk konstruksi budaya yang sunyi untuk mengandangkan
perempuan dan menormalisasi perilaku pelecehan seksual? Ataukah lebih baiknya kita sama-sama belajar terhadap kasus-kasus pelecehan yang telah terjadi agar menjadi waras, beretika, beradab, dan berakal sehat? Jika iya, data berikut nampaknya perlu dibaca dengan saksama dan penuh kekhusyukan.
Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan Koalisi
Ruang Publik Aman pada 2019 mengenai model pakaian apa saja yang dikenakan
perempuan saat mengalami pelecehan seksual menunjukkan beberapa fakta yang
patut direnungkan kembali agar diri tidak mudah menyalahkan korban kekerasan
seksual.
Hasil surveinya, yakni pakaian yang dikenakan korban adalah rok
panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju
seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek atau sedang
(13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab
panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau
celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan
seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan
seksual.
Data tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara pelecehan
seksual dengan pakaian bersifat mitos dan hanya digunakan sebagai benteng
pertahanan bagi pelaku untuk menyalahkan korban dan membela diri. Mitos tersebut, baik disadari
atau tidak dan mau mengakui atau tidak, terbangun oleh sistem patriarki yang masih diperjuangkan dan dijaga kelanggengannya.
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Perempuan
dalam wawancaranya dengan Asumsi (16/12/21) menyebutkan bahwa dalam satu dekade
terdapat 45.000 kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Komnas Perempuan. Dari
kasus tersebut menyatakan tidak semua korban memakai baju yang terbuka. Kekerasan
seksual dapat menimpa siapa saja dan tidak ada korelasinya dengan cara
berpakaian.
Lantas, mengapa korban yang disalahkan? Waraskah kita jika menyalahkan korban?
Lucia bukan sebatas menyoroti tentang perspektif
masyarakat terhadap perempuan dan melawan pandangan tersebut. Lucia pun
memberikan perlawanan bukan hanya sebatas pada tampilan fisik perempuan yang
diatur oleh sistem patriarki yang sedemikian langgeng dan kian dilanggengkan.
Lucia menggambarkan bagaimana nilai di dalam diri
perempuan pun diberikan batasan oleh buah konstruksi budaya dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut diungkapkan dalam bait ketiga, “Sekolah terus, cita-cita terlalu banyak; Terlalu cerdas, nanti susah
cari suami; Terlampau pintar cari uang, pendapatan istri jangan lebih tinggi
dari suami”.
Sebagai perempuan, Lucia menyampaikan kritik dan
gagasannya dalam bait tersebut, hal-hal seperti pendidikan, mimpi, kecerdasan, pandai
mencari uang, berpendapatan tinggi hanya boleh dan menjadi hebat jika dilakukan
oleh laki-laki. Lucia menyuarakan bagaimana pengandangan terhadap perempuan yang
terjadi dalam kehidupan sosial.
Laki-laki bersekolah tinggi, maka ia akan dianggap
pintar dan memiliki poin tambah dalam kelas sosial. Apabila perempuan menjadi
sosok yang pintar, ia harus siap ditakuti dengan ucapan-ucapan bahwa dirinya akan susah mendapat
pasangan. Laki-laki yang bekerja dan memiliki gaji tinggi, maka ia akan menjadi
suami dan ayah yang baik karena mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, jika
perempuan bekerja dan memiliki gaji tinggi, ia di cap sebagai ibu yang tidak
baik dan istri yang tidak menghargai suami.
Pola pikir tersebut, sepertinya sudah mendarah
daging dalam pandangan sebagian masyarakat. Takheran jika banyak perempuan
karier yang ketika sudah meningkah, lalu dirumahkan oleh laki-laki (suaminya). Hal tersebut
juga memengaruhi pada keberanian perempuan dalam melangkah, menentukan sikap,
dan kedaulatan diri. Tanpa disadari ini merupakan bentuk pengandangan atau pemenjaraan.
Meski tidak semua orang mempunyai pemikiran
serupa, tetapi masyarakat dominan menganggap perempuan tidak boleh memiliki
kedudukan yang sama dengan laki-laki. Apalagi lebih tinggi. Bisa jadi akan mendapatkan cap
perempuan berbahaya bagi kaum laki-laki pengecut.
Banyak yang beranggapan jika perempuan memiliki
kedudukan sama atau lebih tinggi dari laki-laki merupakan perempuan
yang berjiwa pemberontak. Padahal bukankah laki-laki perlu merasa beruntung
jika mempunyai pasangan yang hebat? Bukankah laki-laki akan menjadi lebih ringan beban hidupnya? Bukankah laki-laki juga akan terselamatkan dari jeruji penjara pandangan dari hasil konstruksi budaya yang konon katanya ideal.
Perempuan-perempuan memang selalu terlalu untuk yang ketakutan melulu.
Dari apa yang Lucia tulis di bait terakhir,
ia tidak menyangkal jika masih ada sekelompok orang yang pemikirannya terbuka.
Perempuan menjadi makhluk yang “selalu terlalu” bagi mereka yang selalu merasa
takut, terutama laki-laki yang memiliki toxic
masculinity yang membuatnya merasa peran laki-laki lebih sulit dan kompleks
dibanding perempuan.
Puisi berjudul "Perempuan-Perempuan yang Terlalu" karya Lucia
Priandarini ini terlihat menggunakan majas yang sarkastik. Namun, secara tidak
langsung, tujuannya dari puisi ini ialah memperjuangkan hak-hak perempuan
agar mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki.
Hal-hal hebat yang dilakukan laki-laki
harusnya menjadi hebat juga meskipun dilakukan perempuan. Perempuan berhak
memanjangkan langkahnya agar bisa hidup beriringan dengan kaum laki-laki.
Perempuan yang sudah menikah adalah istri dan ibu, tetapi dirinya tetap menjadi manusia dan dirinya sendiri yang perlu hidup dengan apa yang ia "inginkan".
Laki-laki yang benar-benar laki-laki ialah mereka yang tidak pernah takut dan khawatir akan tersaingi oleh perempuan, baik dalam bidang ekonomi, politik, pekerjaan, sosial, dan lainnya.
Hal yang harus diingat ialah perempuan dan
laki-laki adalah manusia. Memperjuangkan kemanusiaan adalah tugas bersama. Mari
sama-sama menjadi manusia yang insani.
Editor: Pemulung Rasa
Ditulis oleh Amira Zakia Khoerunisa. Lahir di Bandung dan sedekade ini sedang ikhtiar menumbuhkan diri di Cianjur. Saat ini dirinya sedang
memperjuangkan kesarjanaannya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Suryakancana.