Apakah kamu merasa ‘berjodoh’ atau ‘selamat tinggal’ dengan hubunganmu? Christine_Kohler/iStock via Getty Images Plus |
Orang yang kamu ajak bicara, berkencan, tinggal bersama, bertunangan, menikah, putus, atau bercerai - semuanya terserah kamu. Kamu memegang kemudi penuh dalam menentukan arah hubunganmu.
Sering kali, kamu mungkin melaju dengan kendali otomatis (autopilot), mempertahankan kondisi yang sudah ada. Namun, sesekali, ada sesuatu yang mengganggu keseimbangan itu dan membuatmu merenungkan nasib hubunganmu dengan serius.
Pada titik tertentu, kebanyakan orang menemukan diri mereka menghadapi keputusan yang rumit, apakah akan bertahan atau berhenti. Meskipun ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan saat kamu merenungkan situasi itu, mengetahui bagaimana orang lain menghadapi keputusan penting dalam hidup tersebut mungkin akan membantu. Penelitian terbaru, termasuk penelitian saya sendiri di bidang ilmu hubungan, telah mengeksplorasi bagaimana orang membuat pilihan-pilihan ini.
Faktor-faktor saat menimbang sebuah hubungan
Rasa-rasanya, jumlah alasan mengapa seseorang memutuskan untuk mempertahankan atau mengakhiri sebuah hubungan, sama banyaknya dengan jumlah hubungan yang ada.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya dipertimbangkan oleh orang-orang, para peneliti psikologi seperti Samantha Joel, Geoff Macdonald dan Elizabeth Page-Gould bertanya kepada lebih dari 400 orang yang tengah mempertanyakan hubungan mereka: “Apa saja alasan yang mungkin diberikan seseorang untuk tetap bersama atau meninggalkan pasangan romantisnya?”
Dari semua situasi yang ada, muncul 50 tema umum.
Orang-orang memberikan 27 alasan utama untuk bertahan dalam hubungan. Alasan-alasan tersebut berfokus pada komponen-komponen hubungan utama seperti ketertarikan, keintiman fisik dan emosional, serta dukungan. Orang-orang enggan kehilangan waktu dan usaha yang telah mereka investasikan serta takut sendirian. Mereka mempertimbangkan nilai tambah, seperti aspek-aspek yang diinginkan dari kepribadian pasangan mereka dan seberapa banyak kesenangan yang mereka miliki bersama. Mereka juga mempertimbangkan isu-isu praktis, termasuk potensi gangguan keluarga dan implikasi keuangan.
Para peserta juga mengemukakan 23 alasan umum untuk berpisah. Ini mencakup banyak tema yang sama dengan yang disebutkan pada alasan untuk bertahan, tetapi berfokus pada sisi negatif, seperti kepribadian pasangan yang bermasalah, tindakan penipuan atau perselingkuhan, jarak emosional, kurangnya dukungan, dan keintiman emosional atau fisik yang tidak memadai.
Begitu banyak alasan, apa yang harus dilakukan?
Membuat daftar tema-tema ini adalah satu hal. Lalu, bagaimana individu mempertimbangkannya dalam keputusan nyata untuk tetap tinggal atau pergi? Untuk mengetahuinya, para peneliti melakukan penelitian lanjutan terhadap lebih dari 200 orang yang sedang mempertimbangkan untuk berpisah atau bercerai.
Sekitar setengah dari peserta ini melaporkan bahwa mereka merasa, secara imbang, lebih cenderung untuk tetap bertahan dalam hubungan yang bermasalah. Hal ini masuk akal karena rasa enggan berubah itu kuat. Bertahan sering kali membutuhkan usaha yang lebih sedikit.
Namun, orang-orang yang sama secara bersamaan memiliki kecenderungan di atas rata-rata untuk pergi, yang berarti mereka menilai diri mereka cenderung untuk berpisah. Di situlah masalahnya. Para peserta termotivasi untuk tetap bersama pasangannya, tapi pada saat yang sama juga termotivasi untuk mengakhiri hubungan. Dan keraguan ini sangat umum terjadi.
Keraguan akan hubungan yang begitu umum dan orang-orang yang sering kali bingung tentang apa yang harus dilakukan adalah hal yang membuat penelitian semacam ini berpotensi membantu. Penelitian ini sedikit membantu dengan mengidentifikasi apa yang paling penting.
Jalan yang panjang dan berliku
Keputusan dalam sebuah hubungan jarang sekali sesederhana “apakah saya harus tetap tinggal atau pergi?” Sebaliknya, orang-orang mengalami pergeseran halus dalam komitmen mereka yang terbangun dari waktu ke waktu. Apa yang menyebabkan variasi dalam komitmen ini?
Peneliti hubungan Laura Machia dan Brian Ogolsky berusaha mencari tahu dengan mewawancarai partisipan dalam hubungan yang stabil. Pada setiap wawancara delapan bulanan, 464 partisipan mengindikasikan seberapa serius hubungan mereka dengan menilai seberapa besar kemungkinan mereka akan menikah dengan pasangan mereka saat ini - “0% jika mereka yakin tidak akan pernah menikah dengan pasangan mereka atau tidak pernah memikirkan pernikahan, dan 100% jika mereka yakin akan menikah dengan pasangan mereka di masa depan.” Setiap kali persentase “komitmen untuk menikah” mereka berubah dari satu wawancara ke wawancara berikutnya, para peneliti menanyakan alasannya.
Para peserta mengungkapkan banyak alasan, tepatnya 13.598 alasan, yang menyebabkan naik-turunnya komitmen. Para peneliti menyaringnya menjadi 14 tema utama. Alasan yang paling berpengaruh adalah penggambaran positif dan negatif tentang pasangan dan hubungan. Ini termasuk pernyataan langsung tentang pasangan - seperti “dia menyenangkan, perhatian, dan baik hati” - atau tentang mereka sebagai pasangan - seperti “kami mulai menjauh.” Seperti yang bisa diduga, pernyataan positif lebih berkaitan dengan peningkatan komitmen, sementara pernyataan negatif berkaitan dengan penurunan.
Alasan yang paling banyak disebutkan berikutnya adalah keadaan yaitu kejadian atau pengalaman yang tidak terduga seperti kehilangan pekerjaan, pasangan jatuh sakit, atau harus pindah. Menariknya, perubahan hidup seperti ini dapat meningkatkan atau menurunkan komitmen seseorang terhadap hubungan. Temuan ini merupakan bukti lebih lanjut bahwa peristiwa itu sendiri - misalnya, pandemi di seluruh dunia - bukanlah satu-satunya penentu nasib suatu hubungan. Dinamika yang ada pada pasangan juga memainkan peran yang besar.
Dari semua alasan yang mungkin mendorong orang untuk menaikkan atau menurunkan skala komitmen, ada satu alasan yang paling menonjol yang dapat memprediksi apakah pasangan akan berpisah yaitu selingkuh. Meskipun ada banyak faktor lain yang membuat orang merasa lebih atau kurang mungkin untuk mempertimbangkan pernikahan, keterlibatan dengan pasangan kencan lain adalah satu-satunya pembunuh hubungan yang sebenarnya.
Di sisi lain, penelitian ini juga mengidentifikasi satu faktor yang meningkatkan komitmen dan mendorong hubungan lebih dekat ke arah pernikahan: pengungkapan diri secara positif. Itulah yang dimaksud oleh para psikolog, bahwa ketika kita saling berbagi informasi yang mendorong perasaan positif, pada gilirannya hal tersebut akan mendukung hubungan kita. Pikirkanlah tentang bertukar cerita tentang masa kecilmu, mengenal satu sama lain lebih dalam, atau berbagi kabar baik. Pengungkapan semacam ini dapat memperkuat hubungan.
Cinta adalah sebuah keputusan - dan jarang sekali jelas
Hubungan itu rumit, dan tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Sulit untuk mengetahui apa keputusan terbaik jika kamu sedang memikirkan apakah akan tetap bersama pasangan atau berpisah. Hubungan terbaik memiliki masalah, sementara hubungan terburuk masih memiliki kebaikan. Meskipun tidak ingin terjebak dengan pasangan yang buruk, kamu juga tidak ingin bersikap terlalu keras terhadap hubungan yang seharusnya menjadi hubungan yang baik. Mungkin dengan mengetahui apa yang orang lain anggap sebagai faktor penting dapat membantu kamu membuat pilihan terbaik.
Ditulis oleh Gary W. Lewandowski Jr. Professor of Psychology, Monmouth University. Diterjemahkan oleh Rahma Sekar Andini, Universitas Negeri Malang Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.