Serikat pekerja seks dan pendukung berkumpul di luar Pengadilan Tinggi Ontario saat putusan gugatan konstitusional terhadap undang-undang pekerja seks Kanada. The Canadian Press/Tijana Martin |
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Ontario di Kanada baru-baru ini menolak gugatan konstitusional terhadap undang-undang pekerja seks di negara tersebut. Pengadilan juga menegaskan bahwa Undang-Undang Perlindungan Masyarakat dan Orang-Orang yang Tereksploitasi (PCEPA) tidak melanggar hak-hak pekerja seks.
Sebuah koalisi yang terdiri dari 25 kelompok pejuang hak pekerja seks mengorganisir sebuah gugatan terhadap undang-undang PCEPA, dengan alasan bahwa aturan tersebut telah mengkriminalisasi para pekerja seks secara parsial.
Sementara itu, kelompok-kelompok anti prostitusi berargumen bahwa undang-undang tersebut justru membuat laki-laki enggan membayar pekerja seks sehingga bisa mengurangi seks komersial, dan ini sejalan dengan tujuan model nordik atau kesetaraan tentang pekerjaan seks.
Meski demikian, majelis hakim juga menganggap bahwa regulasi untuk mendekriminalisasi pekerja seks bisa menjadi pilihan kebijakan yang lebih baik. Namun, hakim menyatakan bahwa keputusan untuk membuat regulasi tersebut ada di tangan Parlemen, bukan di tangan pengadilan. Artinya, sudah saatnya pemerintah melakukannya.
Baca juga: Pembawa Suara dari Utara oleh Alexnder Howard
Hukum tentang Kerja Seks
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai manfaat dari dekriminalisasi pekerja seks, termasuk penelitian yang dilakukan oleh NGO Amnesty International dan Human Rights Watch. Keduanya bukanlah organisasi yang asal-asalan. Mereka mendasarkan pendirian mereka pada penelitian yang kuat tentang bahaya kriminalisasi. Mereka menentang perdagangan orang dan pelecehan terhadap pekerja seks dan mereka memiliki kebijakan yang menentang keduanya.
Contoh negara yang telah mendekriminalisasi pekerja seks adalah Selandia Baru, yang menggunakan undang-undang kesehatan dan ketenagakerjaannya untuk mengatur industri ini.
Saya tidak akan mengulangi argumen saya tentang mendukung dekriminalisasi pekerja seks, karena sudah ada begitu banyak penelitiannya di luar sana.
Yang ingin saya bahas dalam artikel ini adalah keyakinan seksual yang sangat konservatif, yang mungkin tidak kita sadari, yang mendasari pandangan negatif banyak orang terhadap pekerjaan seks. Masalahnya cukup rumit, dan saya menyadari bahwa lebih mudah bagi kita untuk meyakini bahwa semua pekerja seks perempuan adalah korban dan semua klien laki-laki adalah predatornya.
Tentunya ini pendapat saya sebelum melakukan wawancara dengan para pekerja seks. Bertemu dengan perempuan yang menjual jasa seks dan melakukannya dengan rasa hormat dan bermartabat telah mengubah cara pandang saya terhadap kerja seks.
Baca juga: 3 Kejanggalan Putusan MK dan Kegagalan Mempertahankan Independensi MK
Keyakinan moral persoonal tentang apa itu seks yang baik seharusnya tidak menentukan kebijakan publik terkait kerja seks. (Shutterstock) |
Konservatisme dan Seks
Seks secara historis dibedakan menjadi “seks yang baik” dan “seks yang buruk” karena apa yang disebut dengan ikatan suami-istri heteroseksual atau terikat dalam pernikahan tradisional. Mereka yang mendefinisikan apa itu seks yang baik dan buruk sering kali adalah laki-laki.
Pandangan konservatif sosial tradisional melihat hubungan seks yang dapat diterima adalah yang dilakukan hanya dengan satu orang, setelah menikah, serta heteroseksual dan relasional. Pandangan ini juga menunjukkan betapa tabunya masturbasi. Para ahli telah menguraikan dampak merugikan dari romantisasi ikatan suami-istri heteroseksual terhadap perempuan dan minoritas seksual.
Kanada, misalnya, telah membuat hukumnya menjadi lebih liberal sejak revolusi seksual tahun 1960-an. Seks gay, seks pranikah dan di luar nikah, serta poliamori lebih dapat diterima dibandingkan sebelumnya, tetapi sisa-sisa ideologi konservatif pun tetap eksis. Ini dibuktikan dari adanya protes baru-baru ini terhadap pendidikan seks dan identitas gender dalam kurikulum sekolah.
Sebagian besar feminis akan menolak argumen bahwa mereka terlibat dalam gagasan yang justru merugikan perempuan atau kelompok LGBTQ+ karena mereka tidak memiliki masalah dengan seks homoseksual, seks pranikah atau seks di luar nikah. Namun, para aktivis anti prostitusi menarik garis tegas pada seks yang dikomersialkan karena alasan moral. Kerja seks tetaplah seks yang buruk.
Seperti yang dikatakan oleh direktur sebuah kelompok anti perdagangan manusia:
“Saya tidak percaya bahwa ada aspek dalam diri manusia yang dapat direduksi menjadi tenaga kerja untuk bekerja. Menurut saya, seksualitas manusia adalah bagian dari diri kita sendiri, bagian dari diri manusia yang tidak boleh dijual, tidak boleh dijadikan komoditas yang bisa dibeli atau dijual, jadi dalam hal ini kami tidak menganggap seks sebagai pekerjaan, jadi kami tidak mau menyebut istilah pekerja seks.”
Menurut pandangan tersebut, seks seharusnya tidak dikomersialkan. Bagi banyak orang, pandangan ini masuk akal. Jika kamu dibesarkan dalam lingkungan beragama–agama apa pun, kemungkinan kamu meyakini bahwa seks itu istimewa dan terbatas hanya dapat dilakukan dalam ikatan pernikahan heteroseksual. Itu adalah argumen moral yang didasarkan pada pandangan pribadi tentang seks, dan belum tentu cocok menjadi dasar kebijakan publik.
Baca juga: Privasi dalam Pemilu: Kualitas Demokrasi Dipertaruhkan
Nilai dari Kerja Seks
Para pekerja seks yang saya wawancarai melihat ada nilai lebih dalam kerja seks yang mereka lakukan. Bagi mereka, melayani dan memberikan kepuasan merupakan cara menolong orang lain yang membutuhkannya.
Keyakinan tersebut tentu saja ditentang keras oleh para aktivis anti prostitusi. Salah satu aktivis mengatakan:
“Jika kamu cacat atau dalam kondisi tidak dapat melakukan hubungan seksual secara normal dengan orang lain, lalu kamu pikir cara yang tepat adalah dengan membelinya? Nah, sayangnya, penyakit dan disabilitas tersebut justru membuatmu tidak dapat melakukan hubungan seksual dengan orang lain.”
Jadi, mereka yang mungkin memiliki masalah dalam “mengakses” seks karena adanya disabilitas, faktor usia, ataupun daya tarik fisiknya sebenarnya hanya kurang beruntung saja.
Namun, jika ada yang melihat bahwa kerja seks itu bermakna dan memiliki nilai, mengapa kita harus mencegah mereka melakukan pekerjaan tersebut? Mengapa kita harus membuat regulasi yang membuat mereka jadi merasa tidak aman untuk melakukannya?
Jika para aktivis anti prostitusi menutup mata dari fakta bahwa banyak perempuan yang memang memilih untuk berkecimpung dalam kerja seks, artinya mereka mengingkari eksistensi dan hak para perempuan tersebut, dan ini menunjukkan sikap paternalisme (membatasi kebebasan seseorang atau kelompok demi keyakinan pribadi).
Tentu saja harus ada perlindungan bagi mereka yang melakukan kerja seks tanpa persetujuan (without consent), dan juga harus ada hukuman berat bagi para pelaku perdagangan manusia. Namun, kita tidak perlu mengkriminalisasi orang dewasa yang mengekspresikan seksualitas mereka dengan consent.
Baca juga ragam pemikiran dari para tokoh dan pemikir di rubrik HIBERNASI
Kita sudah memiliki undang-undang yang menentang kekerasan seksual, perdagangan orang, pemaksaan, penipuan, dan segala bentuk ancaman, sehingga kita tidak perlu memaksakan moralitas pribadi dan keyakinan agama kita–yang juga sangat personal– menjadi landasan bagi rumusan kebijakan publik.
Semestinya banyak perempuan yang dapat menjadi pekerja seks dengan terhormat dan bermartabat. Pemerintah harus melihat kondisi tersebut dan hanya perlu memastikan bahwa mereka yang melakukan kerja seks, baik perempuan maupun laki-laki, cis maupun transgender, dapat melakukannya dengan aman.
Baik itu rumah bordil, seperti yang ada di British Columbia, atau perempuan yang “bekerja” bersama di suatu rumah atau yang bekerja secara online, ada banyak cara untuk bisa bekerja dengan aman.
Ditulis oleh Meredith Ralston, Professor of Women's Studies and Political Studies, Mount Saint Vincent University. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.