Pathdoc/shutterstock. |
Penelitian tentang hoaks dalam perilaku voters di Amerika Serikat (AS) pada Pemilu 2016 menunjukkan adanya korelasi kuat antara hoaks dan pengambilan keputusan politik. Hasil penelitian di Italia pada 2018 juga menunjukkan fenomena yang sama.
Dampak yang muncul dapat berupa sikap memilih berdasarkan emosi, bukan track record, visi, atau program kerja. Sikap ini dapat memperbesar peluang lahirnya pemerintahan yang tidak berkualitas, meningkatnya apatisme, dan menurunnya tingkat kepercayaan.
Berbagai dampak tersebut memperkuat urgensi untuk memahami cara kerja hoaks. Apa sebenarnya yang membuat hoaks memiliki daya pikat yang begitu besar?
1. Perpaduan Teks dan Visual
Hoaks kerap berupa paduan antara teks dengan grafis yang menarik. Penelitian Mafindo, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasikan bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia, pada tahun 2022 mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dengan gambar atau video mendominasi komposisi temuan dengan persentase hingga 79,2%.
Baca juga ragam artikel tentang PEREMPUAN
Dominasi konten kombinasi ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi yang semakin memudahkan kreasi konten grafis dan video. Sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris tahun 2022 bahkan menyimpulkan bahwa teknologi telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu.
Selain itu, penelitian Michael Hameleers, asisten profesor di Universitas Amsterdam, Belanda, mengungkap bahwa disinformasi berbentuk visual lebih memengaruhi audiens dibanding konten yang berupa teks saja.
Salah satu kegiatan yang mengkampanyekan anti hoaks di Yogyakarta (2019). Hariyanto Surbakti/Shutterstock |
Baca juga: Pembawa Suara dari Utara oleh Alexnder Howard
2. Menyentuh Emosi
Hoaks dapat mengeksploitasi emosi audiens melalui berbagai tipe konten.
Pemetaan yang dilakukan oleh Mafindo menunjukkan bahwa hoaks paling banyak menggunakan tipe narasi wedge driver yaitu narasi yang cenderung mendiskreditkan pihak tertentu (38,3%), diikuti oleh tipe narasi pipe dream yang membangkitkan harapan (35,5%) dan bogies yang cenderung menakut-nakuti (7.4%).
Tipe-tipe ini diadopsi dari konsep yang diperkenalkan Robert H. Knapp, mendiang profesor Psikologi di Universitas Wesleyan, AS, pada tahun 1944 tentang psikologi rumor.
Menurut sebuah penelitian tentang rumor di (AS), tipe-tipe tersebut menunjukkan cara rumor mengikat audiens melalui emosi sehingga mereka merasa hal itu penting dan lantas memercayainya.
Baca juga: Hak Pekerja Seks: Hukum Seharusnya Tidak Dibuat Berdasarkan Keyakinan Moral Pribadi
Misalnya, tipe wedge driver yang menarasikan pihak tertentu secara negatif sehingga menimbulkan ketidaksukaan atau kebencian, dapat dilihat pada hoaks yang mengklaim bahwa Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) tahun 2019, mengizinkan TNI menembaki pendemo ketika pendukung calon presiden no 2 waktu itu, Prabowo Subianto, mengepung KPU di Jakarta. Narasi pada hoaks tersebut dapat menimbulkan kebencian kepada Wiranto meski faktanya, tidak ditemukan pernyataan seperti yang tertulis di situs tersebut.
Sementara tipe pipe dream atau yang sering disebut juga sebagai wish-based content dan berisi informasi yang menimbulkan rasa senang atau harapan, dapat dilihat pada klaim bahwa ribuan suku Baduy datang ke Jakarta untuk mendukung Aksi 22 Mei 2019 dan diterima dengan hangat oleh Prabowo di Kartanegara, Jakarta.
Bagi pendukung Aksi 22 Mei, hal ini tentu memberikan harapan dan rasa senang. Faktanya, foto yang diunggah oleh sumber klaim adalah foto yang sudah ada sejak tahun 2016. Warga suku Baduy yang ada di foto tersebut adalah warga yang berjualan madu hutan dan tas anyaman serta baju.
Bogies, sebagai konten yang bertipe fear-based atau menimbulkan rasa takut dan kecemasan, biasa muncul pada hoaks yang berisi ancaman bencana alam atau modus kejahatan.
Baca juga ragam pemikiran dari para tokoh dan pemikir di rubrik HIBERNASI
3. Manipulasi Bukti
Hoaks seringkali menyajikan bukti untuk mendukung klaimnya agar audiens yakin. Bukti yang disertakan seringkali palsu atau tidak relevan.
Ada beragam jenis bukti yang biasanya menyertai klaim hoaks, mulai dari pengalaman langsung, kutipan (baik yang dapat diverifikasi maupun tidak), penyertaan tautan URL, penyematan gambar atau video, dan penggunaan alasan (reasoning). Namun, ada juga hoaks yang tidak menyertakan bukti sama sekali.
Bukti berupa pengalaman langsung banyak ditemui pada hoaks kesehatan. Umumnya berupa testimoni dari seseorang tentang kemanjuran pengobatan tertentu. Hoaks terkadang juga menyertakan tautan (URL) agar terkesan seolah informasi di dalamnya mengacu pada sumber kredibel.
Cara lain meyakinkan audiens adalah dengan mencatut pernyataan pihak tertentu. Terkadang nama pihak tersebut jelas, sehingga dapat dimintai klarifikasi, namun seringkali tidak jelas. Contohnya penggunaan frase-frase seperti “info A1”, “info ring 1”, “kata profesor Amerika”, dan sebagainya.
Dari berbagai bukti yang disajikan oleh produsen hoaks, penggunaan gambar atau video merupakan cara favorit. Data-data dari pemetaan hoaks 2022 oleh Mafindo mengungkap bahwa jenis bukti favorit adalah penggunaan gambar atau video. Jenis bukti klaim ini ditemukan sebesar 67%.
Baca juga beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN
4. Memanfaatkan Ketidaktahuan Audiens
Temuan penelitian kami menunjukkan adanya isu-isu dalam konten hoaks yang berangkat dari kurangnya informasi yang diterima masyarakat terkait regulasi pemilu. Termasuk kurangnya informasi tentang hak memilih yang dimiliki oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) serta prosedur penghitungan suara berdasarkan penghitungan manual.
Produsen hoaks memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk menyebarkan klaim bahwa ODGJ dimobilisasi untuk memenangkan kandidat tertentu; perolehan suara dapat dimanipulasi melalui rekayasa siber oleh pihak tertentu ; atau bahwa surat suara sengaja disimpan di kotak kardus agar mudah ditukar.
Modus ini tampaknya tetap digunakan menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Ketidaktahuan masyarakat tentang regulasi dan data kependudukan juga dimanfaatkan produsen hoaks untuk menyebarkan klaim menyesatkan terkait Pemilu 2024.
Contohnya klaim bahwa Warga Negara Asing (WNA) diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk memenangkan kandidat tertentu. Ada juga klaim bahwa kode 00 pada data pemilih merupakan kode KPU untuk mengondisikan pemenang pemilu.
Faktanya, WNA memang diberikan KTP elektronik, akan tetapi tidak memiliki hak memilih. Adapun kode 00 yang dipermasalahkan tersebut merupakan kode RT sebagaimana tertulis dalam KTP dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang kemudian dimasukkan ke dalam data KPU.
Ditulis oleh Nuril Hidayah, STAI Miftahul 'Ula Nganjuk; Finsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; Fitri Murfianti, Leiden University; Loina L. K. Perangin-angin, Koorprodi dan dosen tetap di Swiss German University. Meraka tergabung dalam Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). enelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.