Kohabitasi merupakan kondisi ketika pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah. Merzzie/Shutterstock |
Praktik kohabitasi dan kelahiran anak di luar pernikahan (nonmarital childbearing) menjadi fenomena demografi yang semakin umum terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Kohabitasi, kerap disebut sebagai “kumpul kebo” oleh masyarakat, merupakan kondisi ketika pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.
Generasi muda mulai mengalami pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks. Di sisi lain, mereka melihat kohabitasi sebagai hubungan yang murni, refleksi dari cinta dan daya tarik mutualisme.
Dalam teorinya tentang “Second Demographic Transition” (SDT), Ron Lesthaeghe, profesor demografi dan sains sosial dari Belgia, mengajukan pandangan bahwa pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai bentuk persatuan konvensional yang berdasar pada norma dan nilai sosial. Sebagai gantinya, kohabitasi telah menjadi bentuk baru pembentukan keluarga.
Baca juga Apa yang Terjadi pada Hati Kamu ketika Berhenti Minum Alkohol
Bagaimana tren kohabitasi di dunia dan praktiknya di Indonesia?
Tren kohabitasi
Perbedaan regulasi hukum, budaya, dan struktur ekonomi menyebabkan variasi yang signifikan dalam pola dan tren kohabitasi di berbagai negara. Di sebagian besar negara di Eropa barat dan utara, Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, dan Selandia Baru, kohabitasi telah memperoleh pengakuan hukum.
Di Belanda, misalnya, tingkat kelaziman kohabitasi di Belanda mencapai 50%, dengan durasi rata-rata lebih dari empat tahun, dan kurang dari separuh dari pasangan kohabitasi ini melanjutkan ke pernikahan. Sejak 1998, negara ini mengakui berbagai bentuk partnership formation (pembentukan relasi) melalui Civil Solidarity Pact (Pacs).
Pakta ini mengatur kontrak kohabitasi, termasuk kohabitasi yang terdaftar maupun tidak, sekaligus merinci hak dan kewajiban dalam ikatan kohabitasi yang lebih fleksibel daripada pernikahan. Hal ini termasuk dukungan finansial, perumahan, pajak, dan hak-hak sosial lainnya.
Adanya pakta ini membantu mengurangi diskriminasi terhadap anak-anak tidak sah (illegitimate children, atau sering disebut sebagai “anak haram” di Indonesia) dan menyediakan dukungan substansial bagi orang tua tunggal.
Baca juga Apakah Cinta hanya Perasaan Sesaat yang Dipacu oleh Otak
Sementara, di Asia, kohabitasi tidak mendapatkan pengakuan legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Kohabitasi cenderung terjadi dalam periode singkat dan sering dianggap sebagai tahap awal menuju pernikahan karena tradisi keluarga yang mengharuskan pasangan menikah.
Di Jepang, contohnya, data dari National Fertility Survey menunjukkan bahwa sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan rata-rata durasi sekitar 2 tahun, dan sekitar 58% dari total pasangan kohabitasi melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa kelahiran anak di luar pernikahan hanya sekitar 2% atau terendah di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang rata-ratanya sebesar 36,3%.
Baca juga Memoar Britney Spears adalah Pengingat tentang Stigma dan Risiko Menjadi Cintang Cilik
Alasan Kohabitasi di Indonesia
Di Indonesia, studi tahun 2021 yang berjudul “The Untold Story of Cohabitation”, mengungkap bahwa kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), misalnya, menemukan 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi.
Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.
Penelitian yang saya lakukan di Manado (belum dipublikasikan) mengungkap tiga alasan mengapa pasangan memilih melakukan kohabitasi.
1. Beban finansial
Di Manado, pasangan cenderung memilih kohabitasi sebagai alternatif karena mereka belum siap secara finansial untuk menanggung biaya pernikahan. Mereka memilih menunda pernikahan guna mengumpulkan biaya untuk membayar mahar yang besarannya ditentukan oleh status sosial, pendidikan, dan level pekerjaan yang lebih tinggi.
Salah satu responden wawancara menyatakan bahwa dia harus menunggu hingga empat tahun agar pasangannya mampu mengumpulkan mahar sebesar Rp50 juta.
Baca juga Jon Fosse, Pembawa Suara dari Utawa | Alexander Howard
2. Rumitnya prosedur perceraian
Faktor lain yang mendorong pasangan memilih kohabitasi adalah karena mereka tidak perlu melalui prosedur birokrasi perceraian yang rumit dan mahal ketika memutuskan berpisah.
Dalam prosesnya, perceraian membutuhkan banyak biaya, mulai dari biaya perkara, jasa pengacara, hingga pembagian harta gana-gini, hak asuh anak, dan lain-lain.
Selain itu, dalam ajaran agama Kristen dan Katolik, yang dianut oleh mayoritas penduduk kota Manado, terdapat ayat: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” (Markus 10:6-9).
Artinya, secara hukum agama, suami istri yang bercerai hanya diperbolehkan menikah lagi ketika pasangannya sudah meninggal.
Baca juga ragam pemikiran dari para tokoh dan pemikir di rubrik HIBERNASI
3. Penerimaan sosial
Adanya penerimaan sosial terhadap pasangan kohabitasi menjadi faktor pendorong kohabitasi di Manado. Penerimaan ini dipengaruhi oleh nilai budaya yang menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan, serta faktor ekonomi yang seragam di kalangan masyarakat lokal, yang membuat mereka lebih toleran terhadap praktik kohabitasi.
Selain itu, pasangan kohabitasi di Manado memiliki komitmen serius dan tetap berorientasi pada pernikahan. Rata-rata pasangan di Manado menjalani kohabitasi selama 3-5 tahun. Biasanya, pasangan akan memutuskan untuk menikah setelah mereka memiliki 2-3 anak dan saat mereka memiliki kebutuhan administratif tertentu, semisal pendaftaran anak ke sekolah.
Baca juga ragam tulisan yang ditulis kala SENGGANG oleh banyak orang.
Dampak Kohabitasi
Perempuan dan anak menjadi pihak yang paling terdampak secara negatif oleh kohabitasi. Dalam konteks ekonomi, karena tidak ada peraturan yang mengatur kohabitasi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu selayaknya dalam hukum terkait perceraian.
Ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk pemberian nafkah (alimentasi). Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya.
Dalam konteks kesehatan, dampak negatif kohabitasi dapat dirasakan melalui penurunan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Kurangnya komitmen dan kepercayaan antara pasangan, serta ketidakpastian mengenai masa depan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada pasangan kohabitasi.
Baca juga beragam artikel tentang PEREMPUAN
Berdasarkan data PK21, 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Selain itu, tekanan dari stigma sosial dan harapan yang tidak realistis dari keluarga atau masyarakat, seperti harus mapan finansial dalam waktu singkat agar dapat segera menikah, dapat memperburuk kondisi mental pasangan kohabitasi.
Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga sering mengalami dampak negatif, termasuk gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional. Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status “anak haram”, bahkan dari anggota keluarga sendiri.
Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Baca juga: Demam “Gadis Kretek”: Ekspor Adiksi Rokok yang Mengancam Pengendalian Tembakau Lintas Negara
Solusi yang Mungkin
Alih-alih “mengkuhum” pasangan kohabitasi, pemerintah dan pembuat kebijakan perlu fokus untuk mengurangi hambatan dalam melangsungkan pernikahan.
Salah satu tindakan intervensi yang dapat dilakukan adalah melalui pembentukan gerakan komunitas yang berkolaborasi dengan pemimpin masyarakat (dalam lingkup komunitas gereja, adat, atau satuan lingkungan setempat), untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait pentingnya menyesuaikan mahar pernikahan dengan kemampuan ekonomi calon pengantin.
Selain itu, edukasi mengenai dampak negatif kohabitasi dan anak di luar pernikahan juga penting, agar generasi muda lebih sadar dan bijak dalam mempersiapkan kehidupan masa depan, termasuk merencanakan pernikahan.
Baca juga Mengapa Profesi Guru Dianggap Tidak Keren, Setidaknya Oleh Mahasiswa Keguruan Itu Sendiri
Ditulis oleh Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
*Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.