Para siswa mendaftar di sebuah sekolah menengah atas di Jawa Tengah. Sutrisno Gallery/Shutterstock |
Saat ini, Indonesia menggunakan 3 sistem selain jalur prestasi, yaitu jalur zonasi, jalur usia, dan jalur afirmasi.
Dengan adanya jalur zonasi, sekolah-sekolah negeri wajib mengalokasikan, minimal, 50% dari total kuotanya untuk CPD yang bertempat tinggal dalam radius zona terdekat dengan lokasi sekolah. Artinya, semakin dekat jarak antara tempat tinggal CPD ke sekolah tujuan, semakin besar pula peluang ia diterima di sekolah tersebut.
Jalur usia merupakan lapis berikutnya setelah zonasi. Kompetisinya berdasarkan pada usia saat masuk atau siapa yang lebih tua. Dengan demikian, CPD yang lahir pada bulan Januari memiliki potensi diterima jauh lebih besar dibandingkan dengan CPD yang lahir pada bulan Desember pada tahun kelahiran yang sama.
Sementara itu, jalur afirmasi merupakan jalur khusus bagi CPD yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas dengan minimal kuota 15%. Mereka wajib menunjukkan bukti keikutsertaan dalam program penanganan keluarga tidak mampu, seperti Program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan/atau Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Meski sudah diterapkan sejak tahun 2017, PPDB nonprestasi masih memunculkan permasalahan. Sistem yang berorientasi pada pemerataan pendidikan dan peniadaan favoritisme sekolah ini dianggap justru menciptakan masalah-masalah baru.
Baca juga Menghidupkan Tembang Batang Hari Sembilan: Industri Kreatif Berbasis Sastra Lokal
Apa Saja Permasalahan Tersebut?
1. Hilangnya Standar Adil Seleksi Berdasarkan Kemampuan
Sebelum tahun 2017, basis yang digunakan adalah sistem kompetisi berdasarkan prestasi (merit system). Sistem ini dapat berupa tes masuk tertulis atau berdasarkan hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).
Dengan sistem PPDB yang baru, pemerintah tengah berusaha memenuhi hak seluruh CPD, terlepas dari skor nilainya, untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah yang selama ini dianggap bagus atau favorit.
Namun, dari perspektif CPD yang berprestasi, peluang mereka hanya sekitar 10-30% dari total kuota. Kecilnya peluang tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak bisa mereka kendalikan (uncontrolled factors), seperti tempat tinggal, usia, dan juga kondisi ekonomi keluarga.
Artinya, CPD yang sebenarnya bisa diterima jika menggunakan sistem prestasi harus mencari sekolah lain karena kalah dari CPD lain yang jarak rumah ke sekolahnya lebih dekat, lebih tua, atau kemampuan ekonominya lebih tidak menguntungkan. Alih-alih berusaha menghindari diskriminasi, diskriminasi tersebut hanya berpindah subjek.
Padahal, berdasarkan Pasal 13 ayat 2 International Covenant on Economic, Social, dan Cultural Rights(ICESCR), perjanjian multilateral yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR, basis merit merupakan sistem yang adil untuk diterapkan. Sebab, kapasitas akademik berada pada kontrol masing-masing anak.
Baca juga Menelisik Minat Baca Generasi Indonesia
2. Kesenjangan Kemampuan dan Kesulitan Beradaptasi
Implikasi lainnya, sistem PPDB nonprestasi dapat menyebabkan siswa dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, tidak siap untuk saling berkompetisi karena kesenjangan kualitas akademik yang ada.
Beberapa guru maupun siswa mengaku kesulitan beradaptasi dengan sistem PPDB nonprestasi karena tidak siap dengan konsekuensinya. Misalnya, siswa yang masuk melalui jalur nonprestasi kesulitan untuk mengimbangi kecepatan belajar siswa jalur prestasi karena terdapat kesenjangan kemampuan akademik yang signifikan.
Salah satu guru mengungkapkan, “Ada beberapa anak-anak yang masuk dengan jalur afirmasi dengan nilai UAN di bawah 25 (total nilai adalah 40). Mereka mengalami kesulitan dalam berpacu dengan teman-temannya yang lain. Beberapa anak tersebut (kemudian) memutuskan untuk keluar dari sekolah.”
Di sisi lain, guru-guru juga “kaget” ketika berhadapan dengan kualitas siswa yang berbeda dari sebelumnya. Dengan adanya PPDB nonprestasi, guru-guru yang sudah terbiasa mengajar anak-anak terpilih, diminta beradaptasi dengan gap kemampuan akademik yang signifikan antara satu siswa dan siswa yang lainnya.
Sementara, belum tentu guru-guru tersebut mampu menyesuaikan metode pengajarannya untuk mengatasi gap tersebut.
Baca juga: Jon Fosse, Pembawa Suara dari Utara | Alexander Howard
3. Penurunan Kualitas Sekolah
Karena seleksi masuk tidak lagi didasarkan pada kualitas akademik tetapi pada basis-basis nonprestasi, penurunan kualitas sekolah yang awalnya unggulan menjadi tidak terelakkan. Sekolah-sekolah yang berada di zona dengan banyak CPD berkemampuan akademik rendah terbukti mengalami penurunan peringkat.
Seorang guru di sekolah unggulan di wilayah DKI Jakarta mengungkapkan, “Beda sekali sekarang kualitas (akademik) anak-anak yang masuk dibandingkan dengan sebelum jalur zonasi diterapkan. Secara jumlah, siswa-siswi yang pintar tidak begitu banyak. Di satu sisi, mereka tidak memiliki banyak tandem kompetisi sehingga persaingannya stagnan. Di sisi lain, siswa-siswi jalur nonprestasi juga tidak dapat mengejar ketertinggalan kemampuan mereka.”
Menurut para CPD berprestasi, sekolah seharusnya menjadi tempat berkompetisi berdasarkan kualitas akademik. Mereka memandang bahwa intervensi pemerintah justru menghilangkan semangat kompetisi tersebut.
Baca juga ragam pemikiran di rubrik HIBERNASI
4. Peningkatan ketidakdisiplinan
Berdasarkan wawancara dan observasi yang penulis lakukan terhadap guru dan siswa di beberapa sekolah menengah negeri di DKI Jakarta, dalam rentang waktu dari 2019-2023, mereka berpandangan bahwa salah satu implikasi dari sistem PPDB nonprestasi adalah meningkatnya ketidakdisiplinan.
Seorang guru menjelaskan, “Saat ini, jumlah anak-anak yang telat datang sekolah jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Kebanyakan karena mereka ternyata harus narik (ojek) dulu di pagi hari … Dari dahulu sebenarnya memang sudah ada anak-anak yang membawa pengaruh buruk kenakalan remaja, seperti ngerokok, nongkrong, bolos, berantem, ke anak-anak lainnya, tetapi saat ini kecenderungannya menjadi lebih banyak.
Penjelasan tersebut juga dikonfirmasi oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di salah satu sekolah yang diobservasi. Menurutnya, CPD nonprestasi cenderung memiliki perilaku yang tidak disiplin secara akademik. Mereka lebih banyak bermain-main sehingga kemampuan akademiknya tidak begitu baik.
5. Pengakalan hukum
Bersekolah di sekolah-sekolah favorit dianggap memiliki keuntungan-keuntungan, di antaranya: (1) kuota jalur undangan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri; (2) kultur belajar yang relatif lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah nonfavorit; dan (3) kualitas pengajar yang relatif lebih baik karena efek dari poin ke-2.
Adanya aturan PPDB nonprestasi membuat beberapa orang mengambil langkah ekstrem untuk tetap bisa bersekolah di sekolah favorit. Semisal dengan pemalsuan kartu keluarga agar bisa diterima di sekolah tertentu dari jalur zonasi.
Menyelesaikan isu pendidikan di Indonesia adalah hal yang kompleks. Suatu kebijakan tidak dapat begitu saja dilakukan tanpa melihat variabel-variabel yang terhubung secara sistematis. PPDB saat ini hanya bisa berfungsi maksimal jika kualitas infrastrukturnya, seperti kualitas guru, sekolah, dan inputnya, merata. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, hasil yang diharapkan justru bisa kontraproduktif.
Baca juga beragam artikel yang membahas kesetaraan gender dan perempuan di rubrik PUAN