Sejumlah Alat Peraga Kampanye (APK) milik Caleg dipak di pohon di jalan Pase Kota Lhokseumawe, Aceh. Rahmad/AntaraFoto |
Selama 12 kali masa pemilihan umum legislatif (Pileg) berlangsung, representasi perempuan di parlemen belum pernah mencapai target 30%.
Pada periode 1999-2004, kandidat perempuan yang berhasil memperoleh kursi di parlemen hanya sebesar 9,6%. Pada 2009, keterwakilan perempuan meningkat hingga 11,8% dibandingkan Pileg 2004.
Peningkatan ini disebabkan oleh penetapan putusan kebijakan kuota perempuan 30% dalam Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kebijakan ini juga diperkuat dengan adanya zipper system yang termaktub dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mewajibkan sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan dalam setiap tiga daftar bakal calon yang diusulkan.
Baca juga Siapapun yang Terpilih dalam Pilpres 2024, Indonesia akan Tetap Mendekat ke Cina
Dua kebijakan tersebut juga berdampak positif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan pada Pileg selanjutnya, yaitu sebesar 17,32% pada 2014 dan 20,9% pada 2019.
Meskipun terjadi peningkatan persentase yang cukup tinggi, anggota legislatif perempuan terpilih masih didominasi oleh pihak yang dibekali dengan ikatan dinasti politik dengan pejabat politik ataupun elite partai.
Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) mencatat bahwa pada tahun 2014 terdapat 34% anggota legislatif perempuan yang memiliki ikatan dinasti politik. Pada Pileg 2019, angkanya mengalami peningkatan hingga 44% atau sekitar 53 dari 120 anggota legislatif perempuan terpilih.
Jumlah ini lebih tinggi, jika dibandingkan dengan anggota legislatif laki-laki dengan ikatan dinasti politik, yaitu 8,5% atau 39 dari 455 total anggota legislatif laki-laki terpilih.
Baca juga Ketiga Calon Presiden Indonesia Masih Dihantui Catatan HAM yang Mengkhawatirkan
Hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi perempuan untuk bisa masuk parlemen, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sekalinya bisa masuk, yang terpilih justru berasal dari dinasti politik. Mengapa demikian?
1. Perempuan Anak Emas
Partai politik memiliki kecenderungan memprioritaskan kandidat perempuan yang memiliki ikatan dinasti politik. Dalam hal ini, faktor-faktor primordial, seperti agama, kesamaan daerah, faktor kedekatan dengan pimpinan partai, juga masih menjadi pola utama dalam proses rekrutmen kandidat.
Tujuannya adalah untuk memanfaatkan jaringan politik, ekonomi, dan sosial yang dimiliki oleh kandidat, sehingga elektabilitas parpol juga ikut meningkat. Tak jarang, proses rekrutmen terhadap kandidat ini dilakukan dengan cara ‘meminang’.
Dari perekrutan tersebut, parpol akan mendapatkan insentif tinggi. Salah satunya, kewajiban parpol untuk memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar 4% dapat terpenuhi.
Dominasi rekrutmen kandidat perempuan dengan ikatan dinasti politik salah satunya terjadi di Sumatra Barat. Sebanyak enam kandidat perempuan yang mencalonkan diri pada Pileg 2019 memiliki latar belakang sebagai istri kepala daerah di provinsi tersebut.
Kasus ini selaras dengan temuan penelitian terkait Pemilu 2019 yang menunjukan bahwa 28,3% atau 15 dari 53 total anggota legislatif perempuan dengan ikatan dinasti politik memiliki hubungan kekerabatan sebagai istri kepala daerah.
Baca juga beragam artikel yang membahas terntang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN
2. Jalur Cepat
Ketiadaan penetapan prasyarat, seperti lama keanggotaan dan keikutsertaan kaderisasi partai, menjadi jalur cepat bagi pencalonan kandidat perempuan dengan ikatan dinasti politik. Akibatnya, pengetahuan terhadap partai pengusung beserta sistem politik elektoral menjadi tidak komprehensif bagi kandidat perempuan yang mencalonkan diri.
Kasus ini terjadi dalam kontestasi Pileg 2019 di level kabupaten, ketika salah satu anggota legislatif perempuan dengan ikatan dinasti politik yang terpilih baru menjadi anggota parpol saat proses pencalonan diri, sehingga belum mendapatkan proses kaderisasi dari partai pengusungnya.
Ironisnya, kandidat ini belum memahami secara komprehensif esensi dari politik elektoral, dan menganggap kontestasi ini sebagai proses pendaftaran kerja semata.
Baca juga ragam pemikiran dari para tokoh dan pemikir di rubrik HIBERNASI
3. Nomor Menentukan Prestasi
Penomoran kandidat perempuan dengan ikatan dinasti politik cenderung diletakkan di nomor topi atau nomor pada posisi atas dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Posisi penomoran yang strategis selaras dengan probabilitas keterpilihan yang lebih tinggi, biasanya pada nomor paling atas atau paling bawah.
Pada pileg 2019, sebanyak 87% dari 120 anggota legislatif perempuan terpilih ditempatkan pada salah satu dari tiga posisi paling atas dalam DCT. Lebih dari 50% atau 63 anggota ini terpilih dari posisi nomor urut satu dalam DCT. Sebanyak 24 atau lebih dari 50% anggota legislatif perempuan dalam posisi strategis tersebut memiliki bekal ikatan dinasti politik.
Elite partai masih menjadi aktor yang menentukan penomoran dari kandidat, sehingga ikatan dinasti politik dengan elite partai saja dapat menempatkan suatu kandidat dalam posisi penomoran yang strategis.
Di samping itu, akses terhadap jaringan finansial dan politik dari ikatan dinastinya ikut menyokong posisi tawar dari kandidat tersebut. Kelompok kandidat yang dibekali ikatan dinasti politik, baik itu hubungannya dengan pejabat publik ataupun elite partai politik (parpol), memiliki keleluasaan terhadap akses finansial dan jaringan politik.
Baca juga: Demam “Gadis Kretek”: Ekspor Adiksi Rokok yang Mengancam Pengendalian Tembakau Lintas Negara
Perempuan Non-Dinasti Terpinggirkan
Kandidat perempuan yang tidak berasal dari ikatan dinasti cenderung memiliki posisi tawar yang rendah untuk ditempatkan pada posisi strategis dalam setiap proses pencalonannya. Kandidat ini biasanya tidak memiliki keleluasaan terhadap akses ekonomi, sosial, hingga politik layaknya kandidat dengan ikatan dinasti.
Contohnya dari aspek penomoran, kandidat ini biasanya diletakkan pada nomor urut kurang strategis (nomor tiga ke bawah) dengan probabilitas kemenangan yang juga rendah. Terlebih dihadapkan pada realitas untuk melawan kandidat laki-laki yang memiliki jabatan lebih tinggi, pimpinan partai, atau seorang petahana.
Pada akhirnya, kandidat ini tersisihkan dari kontestasi politik elektoral dan hanya digunakan sebagai ‘alat’ bagi parpol untuk memenuhi kuota gender, agar memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu.
Memang, tidak ada larangan dalam memanfaatkan ikatan dinasti politik untuk memenangkan kontestasi politik elektoral. Namun, hal yang perlu direnungkan adalah sejauh mana peran anggota legislatif perempuan dengan ikatan dinasti berpengaruh terhadap pembentukan kebijakan yang berperspektif gender.
Bisa jadi, kandidat perempuan dengan ikatan ini sebenarnya hanya pion bagi manuver politik laki-laki yang maskulin.
Peran partai politik selaku gatekeeper di sini sangat sentral. Apabila orientasinya sekadar untuk pemenuhan kuota tanpa adanya sistem merit, mustahil mewujudkan proses politik elektoral yang adil dan inklusif bagi perempuan.
Baca juga ragam tulisan bertajuk SENGGANG dari beragam penulis.
Ditulis oleh Eksanti Amalia Kusuma Wardhani, Junior Researcher, The Prakarsa
*Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.