Praktik hukum di Indonesia masih menunjukkan adanya disparitas pemidanaan, yakni ketika ada dua orang atau lebih melakukan tindak pidana yang serupa, dengan modus dan cara yang sama, tetapi divonis jenis atau besaran hukuman yang berbeda.
Pada dasarnya, tidak semua disparitas pemidanaan adalah buruk, karena hampir tidak ada perkara yang benar-benar sama.
Menjadi masalah ketika terdapat rentang perbedaan hukuman yang sangat jauh terhadap perkara yang serupa, terlebih lagi perbedaan tersebut disebabkan oleh prasangka dan bia oleh haki, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak relevan.
Kami melakukan penelitian mengenai disparitas pemidanaan kasus perkosaan dan pencabulan terhadap anak dan orang dewasa pada putusan-putusan di seluruh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer dari tahun 2019 hingga 2021.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan proses analisisnya menggunakan pendekatan yuridis normatif (berdasarkan teori dan asas hukum sekarang telaah peraturan perundang-undangan).
Temuan penelitian
Untuk tindak pidana perkosaan, dari 350 putusan yang terdiri dari 363 terdakwa, diperoleh 33 (tiga puluh tiga) kategori karakteristik yang serupa. Sedangkan pada tindak pidana pencabulan, dari 303 putusan yang terdiri dari 307 terdakwa, diperoleh 18 (delapan belas) kategori karakteristik yang serupa.
Variabelnya terdiri atas jumlah korban, status disabilitas korban, usia korban, kondisi ketidakberdayaan korban, cara melakukan tindak pidana, status terdakwa sebagai orang yang dipercayakan untuk mengurus korban, tindak pidana yang diawali dengan ancaman atau tidak serta dampak terhadap korban.
Baca juga Mengatasi Ketimpangan Gender di Pendidikan Tinggi: Perlu Fasilitas Fisik Sadar Gender
Total disparitas pemidanaan pada perkara perkosaan yang kami temukan adalah sebesar 88%, sedangkan dalam perkara pencabulan adalah sebesar 80%.
Contohnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta yang terdakwanya divonis penjara 132 bulan (11 tahun). Sementara dalam putusan Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta , terdakwa divonis penjara selama delapan bulan. Perbedaan vonis kedua pelaku tersebut adalah 120 bulan (10 tahun).
Padahal, kedua putusan tersebut sama-sama dipidana berdasarkan Pasal 285 KUHP dan mempunyai karakteristik perkara berdasarkan variabel yang serupa.
Baca juga ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di bidangnya di rubrik HIBERNASI
Mengapa terjadi disparitas?
Setidaknya ada empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan.
1. Tumpang Tindih Peraturan
Indonesia masih memiliki permasalahan terkait tumpang tindihnya muatan peraturan perundang-undangan.
Misalnya tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak, diatur dalam UU Perlindungan Anak, UU Pemebrantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Masing-masing aturan tersebut memuat ancaman hukuman yang berbeda-beda. Konsekuensinya, dapat terjadi perbedaan hukuman pada perkara serupa karena penegak hukum menggunakan aturan yang berbeda.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada juga kerap kali saling bertentangan atau tidak sejalan.
Misalnya, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2017 terkait Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 1/2017) mengatur bahwa jika pelakunya sudah dewasa dan korbannya adalah anak, maka Hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimal dengan pertimbangan ada perdamaian antara pelaku/keluarga pelaku dengan korban/keluarga korban, pelaku dan korban sudah menikah, atau perbuatan dilakukan suka sama suka.
Baca juga beragam artikel yang membahas terntang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN
SEMA 1/2017 tersebut bermasalah karena rentan menciptakan reviktimisasi atau proses seorang korban kekerasan seksual menjadi korban kembali jika ada upaya pemaafan, perdamaian, bahkan pernikahan pelaku dan korban anak.
Aturan tersebut juga bertentangan dengan PERMA 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang mengatur pertimbangan hakim dalam menangani perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Pertimbangannya termasuk dampak psikis yang dialami korban, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi, dan lain sebagainya.
Pada konteks kasus kekerasan seksual, UU TPKS juga secara tegas menyatakan bahwa perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan merupakan termasuk tindak pidana pemaksaan perkawinan.
Perbedaan materi muatan antara SEMA 1/2017, PERMA 3/2017, dan UU TPKS tersebut tentu akan berdampak pada perbedaan pertimbangan hakim dan bermuara pada perbedaan hukuman. SEMA 1/2017 perlu menyesuaikan aturan lainnya yang mendukung upaya pencegahan kekerasan seksual maupun reviktimisasi korban.
Baca juga Kartini adalah Jalan Kesetaraan Gender
2. Internal Hakim
Dalam praktik hakim bisa memiliki bias gender, termasuk memiliki preferensi subjektif terhadap jenis kejahatan atau individu tertentu.
Pengalaman hidup dan latar belakang hakim juga dapat memengaruhi pandangan mereka terhadap hukuman. Misalnya, hakim yang memiliki pengalaman pribadi dengan kejahatan tertentu mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menangani kasus serupa.
Tingkat toleransi hakim terhadap risiko kejahatan, dimana hakim cenderung memberikan hukuman yang lebih berat untuk meminimalkan risiko kejahatan masa depan.
3. Faktor Eksternal
Faktor eksternal dapat mencakup lingkungan, situasi politik dan ekonomi, serta adanya intervensi publik atau media massa.
Misalnya, penanganan kasus kekerasan seksual semakin menguat untuk meningkatkan responsivitas terhadap opini publik pada kasus-kasus tersebut. Tingkat responsivitas terhadap situasi sosial ini tentu akan berdampak pada tingkat penegakkan hukum.
Intervensi dari publik atau media massa juga sangat berpengaruh. Media massa khususnya memiliki fungsi sebagai pusat informasi, yang menyediakan dan menyampaikan informasi terkait peristiwa, kejadian, realitas, dan lainnya yang terjadi di masyarakat.
Contohnya kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY (14 tahun) di Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang. Dalam kasus yang sempat menggemparkan publik ini, satu pelaku divonis hukuman mati dan empat diantaranya divonis penjara 20 tahun.
Barangkali faktor media bukan menjadi faktor utama yang memengaruhi tingkat hukuman. Namun, kasus-kasus besar yang diangkat media secara masif tentu berdampak pada tingkat responsivitas publik termasuk pada upaya penegakan hukumnya.
Baca juga Manusia dan Krisis Ekologi
4. Diskriminasi
Salah satu faktor dari disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab adalah diskriminasi.
Diskriminasi dapat dilakukan secara langsung, yang menyasar karakteristik pelaku seperti ras, etnis, agama, jenis kelamin tertentu menjadi dasar pemberat hukumannya oleh hakim.
Misalnya di Amerika Serikat, orang kulit hitam dan etnis Hispanik dihukum lebih berat daripada orang kulit putih. Tentunya perbedaan hukuman ini tidak diatribusikan sesuai dengan faktor-faktor lain yang relevan untuk dipertimbangkan secara hukum.
Diskriminasi oleh hakim bisa juga datang dari aturan atau kebijakan yang secara tidak langsung mendeskriminasi individu/kelompok berdasarkan karakteristik tertentu. Ini yang disebut sebagai diskriminasi tidak langsung.
Meskipun hakim bersifat independen, namun keleluasaan hakim dalam menjatuhkan hukuman dengan mempertimbangkan faktor yang tidak relevan justru akan menghasilkan diskriminasi dan dapat menjadi alasan disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab.
Perlunya pedoman pemidanaan
Guna mencegah terjadinya disparitas yang tidak bertanggungjawab, sistem peradilan memerlukan pedoman pemidanaan bagi hakim untuk menentukan hukuman. Pedoman pemidanaan ialah standar yang diterapkan untuk menetapkan hukuman yang rasional dan konsisten dalam yurisdiksi tertentu.
Baca juga Artificial Intellegence dan Masa Depan Umat Manusia
Adanya pedoman pemidanaan diharapkan dapat menciptakan hukuman yang proporsional, konsisten, transparan, dan akuntabel terhadap pelaku tindak pidana, serta mengurangi disparitas pemidanaan.
Sebenarnya sudah ada beberapa aturan yang mengakomodasi pedoman bagi aparat penegak hukum, misalnya dalam KUHP, Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021, maupun [PERMA No. 3 Tahun 2017].
Namun belum ada pedoman pemidanaan yang spesifik terhadap tindak pidana kekerasan seksual, sehingga masih diperlukan pedoman pemidanaan khusus bagi hakim. Pedoman tersebut harus menempatkan kepentingan korban sebagai prioritas utama, mempertimbangkan kerugian korban dan aspek kesalahan pelaku.
Pedoman pemidanaan tersebut tidak bertentangan dengan asas kemandirian hakim (judiciary independence), karena pedoman pemidanaan hanya memberikan rentang hukuman dan faktor-faktor relevan yang perlu dipertimbangkan.
Baca juga “Lookism” dan Diskriminasi di Tempat Kerja: Bagaimana Penampilan Memengaruhi Kesejahteraan Seseorang
Ditulis oleh Arianda Lastiur Paulina, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society dan Siti Ismaya, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society.
*Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.