Selain menjadi tradisi pulang kampung, mudik adalah arena orang-orang untuk berhadapan dengan ekspektasi masyarakat yang sudah tertanam dari generasi ke generasi.
Keluarga dan masyarakat menggunakan momen berkumpul untuk mengevaluasi dan memperkuat nilai-nilai tradisional yang kerap diiringi dengan ekspektasi sosial tertentu.
Sebagai contoh, perempuan yang belum menikah, pasangan tanpa anak, atau laki-laki yang dianggap belum sukses secara finansial sering menjadi sorotan karena dianggap belum memenuhi harapan.
Percakapan selama mudik kerap berputar pada pertanyaan, seperti “Kapan mau punya anak?”, “Kapan nikah?”, “Kapan nambah anak?”, “Kapan kerja?”, atau “Kenapa karier lebih penting daripada keluarga?”.
Baca juga Alasan Mengapa Jangan Tanya Kapan Menikah, Punya Anak, dan Lulus Kuliah
Jenis-jenis pertanyaan ini menciptakan tekanan terus-menerus untuk menyesuaikan diri dengan peran yang atau posisi yang dianggap ideal.
Tekanan ini tergambarkan secara kritis dalam Film Mudik (2019) karya Adriyanto Dewo. Film ini menerangkan bagaimana norma sosial yang berkembang dalam masyarakat tradisional memengaruhi ekspektasi masyarakat mengenai laki-laki dan perempuan dalam institusi pernikahan.
Kisah dari Mudik
Film Mudik mengisahkan Firman dan Aida, kedua tokoh yang mengalami konflik pernikahan karena tidak mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat.
Di tengah konflik, pasangan ini—yang tinggal di Jakarta—memutuskan untuk mudik ke Yogyakarta dengan harapan memperbaiki hubungan mereka yang sedang tidak harmonis.
Namun, alih-alih membaik, mudik justru membuat konflik semakin dalam.
Aida yang berjuang melawan stigma sosial karena tak bisa memiliki anak semakin terpojok ketika Firman berniat menikah lagi.
Sementara Firman tertekan ekspektasi keluarga untuk memberikan keturunan.
Dalam budaya masyarakat Jawa (sekaligus latar budaya dalam film “Mudik”), laki-laki merupakan pemberi nafkah dan pelindung yang mewujudkan nilai-nilai Lelananging Jagad. Nilai ini—menekankan pada kekuatan, kebijaksanaan, dan dominasi—tertanam secara mendalam dalam narasi budaya Jawa.
Nikmati beragam artikel tentang perempuan, kesetaraan gender, dan feminisme di rubrik PUAN
Berikut penggalan kutipan dialog yang terjadi dalam adegan konflik pernikahan antara Firman dan Aida:
Aida : Aku, aku ninggalin kamu karena kamu berubah. Kamu berubah setelah kamu tahu kalau aku gak bisa punya anak.
Firman : Itu lagi.
Aida : Kok itu lagi, kamu pikir masalah kita itu kecil, masalah kita itu Firman. Aku pergi tuh biar punya waktu untuk mikir kalau aku layak apa enggak kamu perlakukan kaya gini. Kenapa harus ada orang lain? Jawab! Jawab! Lihat aku.
Firman : Keluargaku, mereka udah kasih izin kalau aku boleh punya istri lagi.
Dialog ini menyiratkan bahwa ketidakhadiran anak dianggap sebagai kegagalan pasangan yang sudah menikah dalam memenuhi ekspektasi sosial mengenai kepemilikan keturunan.
Selain itu, film ini juga menggambarkan Aida yang berjuang menghadapi ekspektasi masyarakat di kampungnya mengenai kondisi infertilitasnya.
Baca juga Perempuan dalam Kotak
Prinsip Kanca Wingking dalam masyarakat Jawa menyiratkan bahwa perempuan harus memiliki kemampuan untuk berdandan (Macak), mengurus anak (Manak), dan memasak (Masak). Ketidakhadiran kemampuan tersebut seringkali menimbulkan stigma sosial yang tidak memedulikan pencapaian pribadi dan profesional perempuan.
Harapan ini kemudian merampas hak Aida, dan menempatkannya dalam posisi subordinat (di bawah otoritas pihak lain) dalam ekspektasi sosial yang menekannya tanpa henti. Sepanjang film, Aida sering kali terdiam dan melamun, juga tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi tuntutan tentang perannya sebagai istri.
Dalam salah satu adegan, pikiran Aida yang kalut bahkan terlihat mengganggu konsentrasinya mengemudi sehingga menyebabkan kecelakaan. Kamera juga berulang kali menyoroti momen ketika ia memandangi keluarga-keluarga lain yang bermain dengan anak mereka dan memperlihatkan tatapannya yang kosong dan penuh kesedihan.
Adegan ini diperkuat dengan momen Aida menangis dalam kesunyian. hal ini memperlihatkan penderitaan emosional yang harus ia tanggung demi mempertahankan penikahannya yang terus menghakiminya atas sesuatu yang berada di luar kendalinya.
Baca juga Demam “Gadis Kretek”: Ekspor Adiksi Rokok yang Mengancam Pengendalian Tembakau Lintas Negara
Ekspektasi untuk Menjadi Sempurna
Gambaran ini menunjukkan bagaimana kondisi infertilitas Aida memberikan tekanan sosial terhadap dirinya. Hal tersebut merupakan ekspektasi masyarakat mengenai kesempurnaan seorang istri dalam menjalankan fungsi reproduktifnya.
Ketegangan dalam hubungan pernikahan Firman dan Aida semakin mencuat ketika mereka terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang warga desa. Kejadian itu menjadi titik balik dengan menyoroti realitas pahit dari ekspektasi sosial yang selama ini mereka hadapi.
Adegan perpisahan Firman dan Aida menandai momen Aida mengambil kendali atas hidupnya, dan menolak tunduk pada norma yang menuntutnya untuk bertahan dalam pernikahan demi ekspektasi sosial.
Sepanjang film, ia dihantui tekanan menjadi istri “sempurna.” Melalui interaksi dengan Santi, istri korban, Aida semakin menyadari betapa perempuan sering kali dipaksa untuk menerima penderitaan dalam diam demi mempertahankan pernikahan.
Keputusannya untuk berpisah bukanlah kegagalan, melainkan keberanian mendefinisikan kebahagiaannya sendiri. Dengan ekspresi yang berubah dari ragu menjadi mantap, Aida menegaskan bahwa ia siap menentukan jalannya dan menjadikan perpisahan ini sebagai simbol kebebasan.
Baca juga Rohana Kudus, Pejuang (Pendidikan) Perempuan dari Tanah Minang
Mudik dan Ekspektasi Gender
Tradisi seperti Mudik memang memiliki nilai budaya yang mendalam. Namun, tradisi ini perlu menyesuaikan perubahan dinamika gender.
Seiring modernisasi terjadi di Indonesia, peran gender tradisional semakin sering ditantang. Contohnya, perempuan semakin terlibat di pendidikan, dunia kerja, dan ruang publik. Selain itu, kian banyak pula laki-laki yang ikut serta dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga.
Film Mudik berfungsi sebagai media yang ampuh untuk menantang ekspektasi sosial ini. Dengan mengambarkan perjuangan pribadi dalam kerangka tradisional, film ini mendorong penonton untuk merenungkan tekanan yang dihadapi individu dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat..
Yang lebih penting, film ini mendorong diskusi tentang bagaimana budaya dapat merangkul keberagaman dalam pilihan hidup tanpa memaksakan peran gender yang kaku.
Kesuksesan seharusnya tidak ditentukan oleh status pernikahan, kemampuan reproduksi, atau kondisi ekonomi seseorang saja, tetapi oleh kepuasan dan kebahagiaan pribadi.
Mudik sebagai tradisi seharusnya menjadi momen untuk berkumpul kembali dan berefleksi yang bebas dari beban penilaian masyarakat. Hanya dengan seperti itu, tradisi mudik dapat benar-benar menjadi sebuah kepulangan sebenarnya.
Nikmati ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di bidangnya di rubrik HIBERNASI
Ditulis oleh Jordy Satria Widodo, Dosen Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Pakuan
Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.