Dalam dunia yang kian terhubung, pertunjukan musik menjadi arena di mana batas-batas budaya luruh dan melebur. Musik sendiri dapat menjadi bahasa universal yang menyatukan, menghubungkan, dan menginspirasi banyak individu dengan latar belakang budaya berbeda.
Kekuatan ini menjadikan musik sebagai “ruang ketiga"—wadah yang mempertemukan dan mencampurkan budaya berbeda sehingga memunculkan sesuatu yang benar-benar baru.
Ruang ketiga adalah sebuah wilayah konseptual di mana budaya yang beragam tidak hanya bertemu, tetapi juga saling berinteraksi, bertukar gagasan, dan menghasilkan sesuatu yang baru atau unik. Di ruang ini, identitas yang awalnya dianggap statis berubah menjadi dinamis, cair, dan saling memengaruhi—menciptakan bentuk identitas yang hibrida.
Baca juga "Jilbab" dari Ekspresi hingga Simbol Identitas: Bagaimana Media Sosial Mengubah Persepsi Publik
Ruang ketiga menjadi tempat yang dapat mengakomodasi sekaligus merayakan keragaman sebagai sumber kreativitas dan inovasi. Ruang ini mampu mengaburkan batasan antara diri dengan "yang lain”, membuka peluang interaksi, dan menghapus hierarki tradisional yang acap kali membatasi hubungan antarbudaya.
Sebagai ruang ketiga, musik tidak hanya berfungsi hiburan. Ia menjadi medium untuk melampaui batas-batas identitas—menghadirkan karya-karya unik dengan menghubungkan elemen lokal dan global. Musik juga membuka jalan bagi interaksi antarbudaya yang lebih luas mulai dari kolaborasi musisi lintas negara sampai eksplorasi genre yang saling bertemu dan bercampur. Ini memungkinkan terciptanya dialog antarbudaya.
Baca juga Melihat Film "Mudik", Sebuah Gambaran Beban Sosial saat Pulang Kampung
Contoh ‘Ruang Ketiga’ dalam Lagu
Lagu berjudul Jai Ho karya A.R. Rahman adalah contoh ruang ketiga yang mempertemukan budaya timur dengan barat. Lagu ini adalah soundtrack dari film Slumdog Millionaire (2008) yang masuk Top 100 Hot Digital Songs dan Billboard Hot 100. Nuansa India yang dibawanya ke kancah global, lagu ini sukses membuktikan bahwa musik dapat melampaui batas-batas budaya.
Contoh lain adalah lagu berjudul APT yang dinyanyikan oleh Rose dan Bruno Mars. Lagu ini menjadi simbol bagaimana musik bisa menyatukan budaya Korea Selatan dan Amerika Serikat (AS) dan menciptakan karya yang dirayakan secara universal. Selain berada di posisi top 8 di Billboard Hot 100, video klip APT telah mencapai 100 juta penayangan pada tahun 2024. Bahkan, pada Oktober 2024 lalu, lagu ini berhasil menduduki peringkat pertama di top 50 Global Spotify dengan 129 juta penayangan.
Baca juga Alasan Mengapa Jangan Tanya Kapan Menikah, Punya Anak, dan Lulus Kuliah
Berdialog Lewat Musik
Kolaborasi yang dilakukan oleh musisi dari budaya yang berbeda tidak hanya menghasilkan lagu yang menarik, tetapi juga ruang dialog antarbudaya. Ruang ketiga sebagai tempat bertemunya dua atau lebih narasi budaya yang berbeda, membentuk identitas campuran atau bahkan baru.
Ini dapat mengurangi stereotipe kita pada budaya tertentu. Sebab, sebuah lagu yang menyatukan elemen tradisional dan modern ataupun narasi lokal dan global menyediakan sarana untuk membuka pikiran terhadap budaya yang majemuk.
Kemunculan lagu-lagu hibrida, seperti Jai Ho dan APT tidak hanya sukses mengangkat budaya Asia ke kancah global, tapi juga membuka banyak kesempatan untuk mengapresiasi kesenian dan kebudayaan India dan Korea di seluruh dunia.
Jai Ho telah terbukti mendorong peningkatan minat global pada musik, tarian, dan sinema Bollywood secara keseluruhan. Sementara APT banyak digunakan untuk lagu latar konten dance challenge (fenomena yang populer di media sosial) sehingga menumbuhkan antusiasme di dunia digital.
Nikmati beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN
Membuka Ruang Apresiasi
Musik sebagai ruang ketiga memberikan tempat bagi individu untuk mengapresiasi keanekaragaman budaya. Sebuah lagu yang memadukan gamelan Jawa dengan musik elektronik, misalnya, memberikan pemahaman bahwa individu tidak hanya dapat menikmati melodi dari lagu tersebut, tetapi juga memahami nilai-nilai budaya yang direpresentasikan dalam lagu itu.
Artinya, kolaborasi antarmusisi dari beragam latar belakang budaya bukan hanya dianggap sebagai pencapaian musikal di dunia musik global, tetapi juga diklaim sebagai pernyataan kebudayaan.
Dengan menggunakan konsep ruang ketiga dalam musik, musisi dapat menciptakan lagu yang tidak hanya merayakan ekspresi individu, tetapi juga merangkul kemanusiaan—seperti yang berhasil dilakukan oleh Jai Ho dan APT.
Perpaduan narasi lokal dan global dalam lagu-lagu tersebut mengingatkan kita bahwa keberagaman tidak semata-mata didefinisikan sebagai kumpulan perbedaan, tapi juga sebagai sumber inovasi dan keterhubungan.
Nikmati ragam pemikiran dan pandangan dari para pakar, peneliti, dosen, dan pemikir di bidangnya di rubrik HIBERNASI
Ditulis oleh Jordy Satria Widodo, Dosen Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Pakuan,
Artikel ini tayang di salik.id berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.