Dian Sastro menjadi tokoh utama bernama Jeng Yah dalam Gadis Kretek. IMDB |
Sambutan meriah Gadis Kretek dari penonton dan sineas Indonesia tercermin dengan ramainya pemberitaan dan perbincangan di sosial media.
Apalagi dengan tembusnya serial Netflix pertama dari Indonesia ini di Busan International Film Festival di Korea Selatan.
Namun, di tengah sorotan positif terhadap serial yang mendapat rating usia 13+ atau TV-14 ini, terdapat ‘gajah di dalam ruangan’ yang luput oleh media dan penggemar: kretek itu sendiri.
Sebenarnya, penayangan rokok atau adegan merokok bukan hal baru dalam film layar lebar dan streaming.
Studi Truth Initiative pada 2021 menemukan bahwa dari 15 program streaming yang paling digemari oleh anak muda usia 15-24 tahun di Amerika Serikat (AS), 60% menampilkan produk tembakau, menarik perhatian 25 juta anak muda di negara tersebut.
Baca juga ragam pemikiran dari para tokoh dan pemikir di rubrik HIBERNASI
Ironisnya, fenomena ini terjadi saat sudah banyak studi yang menemukan bahwa paparan adegan merokok di film dapat meningkatkan risiko remaja mulai merokok, bahkan hampir dua kali lipat dibandingkan remaja yang tidak terpapar.
Karena itu, adegan merokok di film, televisi, dan online streaming sudah dianggap sebagai bentuk promosi produk tembakau secara halus tapi efektif.
Taktik ini menjadi cara teranyar untuk mempromosikan adiksi rokok di tengah semakin ketatnya aturan iklan produk tembakau dan nikotin di media konvensional.
Lalu apa yang membuat Gadis Kretek berbeda sekaligus mengawatirkan? Film ini menyebarkan aura positif industri rokok dan mengekspor adiksi rokok lintas negara via streaming, yang minim regulasi.
Baca juga beragam karya sastra di rubrik TETES EMBUN
Romantisasi Industri Rokok
Berbeda dari sebagian besar hiburan sinematik lainnya yang juga menayangkan adegan merokok, cerita Gadis Kretek berporos pada industri kretek.
Kisah cinta fiktif antara tokoh utama bernama Jeng Yah, seorang peracik saus kretek yang cerdas dan ambisius, dengan Soeraja, yang kemudian menjadi konglomerat perusahaan rokok Indonesia, berlangsung pada era 1960-an saat bisnis rumahan kretek di Indonesia mulai tumbuh subur dan saling berkompetisi.
Penonton diajak melihat ke dalam dunia industri kretek: proses pembuatan dan pemasaran kretek, dari mulai pembelian daun tembakau hingga penyebaran pamflet iklan produk kreteknya.
Sejak serial ini diluncurkan pada awal November lalu, gejala “glamorisasi”–serba gemerlapan, elok, atau menarik–merokok di dunia maya mulai tampak. Fenomena ini berpotensi membentuk citra positif industri rokok yang masih dianggap bisnis normal di Indonesia, bahkan penting bagi perekonomian negara.
Misalnya, viralnya video kompilasi adegan Jeng Yah yang diperankan oleh Dian Sastro, aktris papan atas Indonesia yang banyak diidolakan anak muda, menghisap kretek banyak dikomentari dengan nada kagum oleh warganet dan tidak sedikit yang berkomentar ingin mencoba merokok.
Baca juga: 'Memasarkan' Isu Perubahan Iklim dalam Kampanye Pemilu 2024: Kiat untuk Politisi dan Tim Sukses
Komentar-komentar bernada kagum dari berbagai pengguna akun X saat menanggapi video Jeng Yah (diperankan Dian Sastrowardoyo) sedang merokok. X (atau Twitter) |
Cuitan salah satu akun X yang mengekspresikan keinginannya untuk mencoba merokok dan akhirnya mencoba setelah menonton ‘Gadis Kretek’ X (atau Twitter) |
Baca juga: Pembawa Suara dari Utara oleh Alexnder Howard
Rokok di serial ini bukan hanya berperan sebagai dekorasi atau mendramatisasi karakter, tapi sentral untuk membangun karakter utama dan cerita serial ini secara keseluruhan.
Di samping itu, anggapan bahwa kretek adalah “warisan budaya” Indonesia yang perlu dilestarikan dapat bangkit kembali dengan diangkatnya aspek historis dan tradisional kretek di serial ini. Di kehidupan nyata, narasi bahwa kretek harus dilindungi kerap digaungkan untuk menolak usulan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat.
Padahal, kretek telah ditolak untuk dimasukkan ke dalam UU Kebudayaan sebagai warisan budaya pada 2015.
Citra positif kretek bukan tidak mungkin dapat menguntungkan industri rokok secara umum. Hal tersebut dapat mengaburkan fakta industri rokok saat ini yang manipulatif dan eksploitatif di sepanjang rantai pasokan dari petani tembakau hingga pemasaran rokok jadi.
Padahal, usaha rokok di Indonesia bukan lagi didominasi oleh perusahaan domestik kecil ala Gadis Kretek melainkan korporat-korporat raksasa yang sudah banyak diakuisisi oleh perusahaan transnasional seperti Philip Morris International.
Baca juga: Hari Akhir Seni Teater Dalam Pertunjukan Harapan Pada Donat dan Mimpi Berwarna Magenta
Selain itu, normalisasi rokok dan industrinya akan semakin memuluskan jalan industri untuk mengintervensi kebijakan publik.
Laporan terbaru Global Tobacco Industry Interference Index menunjukkan Indonesia selama lima tahun berturut-turut berada pada peringkat lima besar negara dengan campur tangan industri tembakau terbanyak.
Alhasil, intervensi ini senantiasa menghambat penerapan kebijakan pengendalian tembakau yang melindungi dan berpihak kepada kesehatan masyarakat.
Promosi Rokok Lintas Negara
Ketika negara lain berlomba menurunkan konsumsi tembakau di kalangan rakyatnya dan melakukan denormalisasi industrinya, Indonesia justru dengan bangga mengekspor banyak adegan merokok melalui serial ini ke luar negeri.
Kenyataan bahwa Gadis Kretek dapat ditonton remaja dan ditayangkan di Netflix mancanegara, bahkan menempati 10 teratas di Malaysia dan Amerika Latin, mengindikasikan adanya ekspor promosi benda adiktif ini kepada anak-anak di luar negeri.
Baca juga: Beban Seorang Wanita karya Lisa Amaria
Hal ini mengkhawatirkan mengingat belum semua negara melarang promosi dan iklan produk tembakau lintas negara.
Baca juga ragam artikel tentang PEREMPUAN
Selain itu, Netflix dan media streaming lainnya belum mengatur penayangan adegan merokok atau produknya di program-program mereka. Pada 2019, Netflix pernah mengumumkan komitmennya untuk mengeliminasi tayangan rokok di program-program bagi anak milik mereka, tapi hingga kini hanya janji belaka.
Berbagai usaha pun dilakukan oleh kelompok masyarakat termasuk anggota legislatif dan badan hukum di AS untuk menekan industri hiburan dan media supaya segera menerapkan aturan yang melindungi anak muda dari paparan promosi rokok.
Hingga saat ini, India adalah satu-satunya negara yang memiliki aturan rokok di media streaming. Mereka mewajibkan penayangan pesan kesehatan anti-tembakau di semua program yang menampilkan produk tembakau atau penggunaannya.
Baca juga: 4 Alasan Kuat Mengapa Hoaks Bagitu Memikat
Perlu Aturan yang Komprehensif dan Kerja Sama Lintas Negara
Persoalan Gadis Kretek ini merupakan puncak dari gunung es yang perlu diatasi akar permasalahannya: normalisasi, bahkan “glamorisasi”, rokok di Indonesia. Pengendalian tembakau yang lemah, terutama dalam aspek iklan dan promosi rokok, adalah salah satu penyebab utamanya.
Pemerintah dan komunitas media perlu mengambil langkah penting untuk melindungi kesehatan generasi masa depan kita.
Pertama, media streaming perlu menetapkan rating ‘R’ atau ‘18+’ untuk program-program mereka yang menayangkan produk tembakau atau penggunaannya dengan cara memasukkannya sebagai kriteria penentuan rating usia.
Menurut laporan di AS, mengadopsi aturan seperti itu berpotensi mengurangi jumlah merokok pada remaja sebanyak 18% atau mencegah hingga 1 juta anak di AS untuk memulai merokok.
Disney, contohnya, sejak 2007 telah melarang penayangan adegan merokok atau produknya di film-film mereka yang ditargetkan untuk anak atau remaja (rating PG-13).
Baca juga: Teruntuk Laki-Laki, Begini Cara Membantu Perempuan PMS
Kedua, Indonesia perlu menutup celah dalam kebijakan pengendalian tembakau yang selama ini masih memungkinkan promosi produk tembakau dan nikotin di internet. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 hanya melarang wujud rokok di ranah film, sinetron, dan acara TV lainnya. Tayangan rokok dan adegan merokok di program streaming dan media digital lainnya belum diatur.
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO (WHO FCTC) memiliki rekomendasi dan panduan bagi negara-negara anggotanya untuk menerapkan aturan komprehensif terkait promosi dan iklan rokok. Rekomendasinya cukup tegas: larang total penayangan produk tembakau di media digital meskipun tidak memiliki hubungan dengan entitas bisnis produk tersebut.
Larangan bukan hanya pada media streaming, media sosial dan yang terbaru metaverse juga tidak boleh luput dari peraturan pemerintah.
Penelitian telah menyibak banyaknya konten komersil yang memanfaatkan influencer-influencer di media sosial untuk mempromosikan produk tembakau atau nikotin lainnya seperti rokok elektrik.
Terakhir, kerja sama lintas negara perlu dijalin mengingat Gadis Kretek dan produk hiburan serupa tidak hanya ditonton oleh audiens domestik.
Baca juga: 3 Kejanggalan Putusan MK dan Bagaimana Lembaga Peradilan Ini Gagal Mempertahankan Independensi
Dalam rekomendasinya, WHO juga mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa iklan dan promosi produk tembakau lintas negara yang berasal dari wilayah mereka untuk diatur dengan cara yang sama seperti aturan dalam negeri.
Selain itu, negara perlu menggunakan hak kedaulatan mereka untuk mencegah masuknya iklan dan promosi tembakau ke wilayah mereka.
Hampir setengah dari negara-negara di dunia yang meratifikasi WHO FCTC, tidak termasuk Indonesia, telah melarang iklan dan promosi rokok di internet. Uni Eropa, misalnya, telah mewajibkan semua negara anggotanya untuk melarang promosi dan iklan produk tembakau antarnegara mereka di berbagai media, termasuk program streaming.
Baca juga: Privasi dalam Pemilu: Kualitas Demokrasi Dipertaruhkan
Perusahaan hiburan, kreator, distributor, seniman, aktor, dan para pengambil keputusan di pemerintahan perlu memahami dampak dari industri hiburan terhadap kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, konsumsi tembakau telah merenggut nyawa 290 ribu rakyat setiap tahun dan merugikan negara hingga Rp410 triliun.
Industri hiburan harus menolak platform mereka dimanfaatkan oleh industri tembakau yang menempatkan generasi muda dalam risiko kecanduan nikotin sepanjang hayat yang akan menimbulkan kesakitan dan kematian.
Baca juga: Perempuan dalam Kotak oleh Amira Zakia Khoerunisa
Ditulis oleh Beladenta Amalia, Postdoctoral Fellow at the Institute for Global Tobacco Control, Johns Hopkins University.
*Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.